Yeay, selamat datang Oktober!!
Semoga semakin ceria dan bersemangat menjalani aktvitas di bulan ini dan bulan-bulan mendatang.
Ngomong-ngomong soal ceria, saya baru saja membaca buku Bukan Emak Biasa yang ditulis Fitri Ariyanti Abidin. *gak nyambung amat sama ceria 🙄*. Padahal, buku ini sudah lamaaaaa sekali dipinjamkan. Dan baru (ingat) dibaca. *lirik tumpukan buku yang belum disentuh*
Buku ini ditulis seorang psikolog tentang pengalamannya mengurus keempat anaknya. Jadiiiii, gak cuma teori dong yaaaa. Psikolog juga manusia kok, gk sempurna dalam pengasuhan. Tapi saya (tetap) banyak belajar dari mereka-mereka yang sudah berpengalaman.
Saya yakin, bagi semua ibu menjadi orangtua terutama ibu adalah komitment seumur hidup. 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tampaknya kurang bagi seorang ibu. Libur? Saya rasa seorang ibu tidak pernah mengenal kata libur. Ya kan? Ya kan? Ya kan?
Beratkah menjadi seorang ibu? Pasti! Karena tugas yang jalankan sangat berarti bagi kehidupan anak – cucu saya kelak. Jauh amat ke cucu? Karena saya sedang mendidik dan mengasuh calon-calon yang nantinya akan menjadi istri, suami, ibu, ayah, nenek, dan kakek. Yang mana mereka juga akan mendidik dan mengasuh keturunan mereka. Dan ternyata juga, membaca merupakan saleman yang memberikan saya kewarasan yang cukup besar.
Oh iya, attachment Cinta ke saya cukup besar atau jangan-jangan sebaliknya. Sayalah yang ketergantungan pada Cinta 😂😂. Tapi, perasaan sangat dibutuhkan oleh Cinta itu menyenangkan buat saya. Saya dianggap begitu berharga dan penting. Bahagia dan bangga kan pastinya. Eh, ternyata di buku ini juga dibahas soal perasaan dibutuhkan oleh anak. Momentum yang tidak akan terulang lagi ini wajib dinikmati. Apalagi ketika anak sakit yang cari ibunya. Jangan syediiihh kakak. Salahsatu indikator seseorang menjadi figur kelekatan emosi buat anak adalah ketika figur tersebut divcai anak saat merasakan emosi negatif. Meskipun saya menyukai dibuntuti kemana-mana, ada kalanya saya gemes menghadapi Cinta. Marah? gak sih, wong Cinta masih kecil. Gak akan paham juga. Lebih ke perasaan gemes, pengin marah tapi tau bakalan gak berguna terus bingung mesti bagaimana. Di buku ini juga dibahas soal marah pada anak kita.
Sebagian besar kekesalan kepada anak-anak, bisa jadi bukanlah murni akibat ulah mereka. Melainkan lebih karena kekesalan pada orang lain. Nah, menurut saya ini tidak hanya berlaku bagi anak-anak saja. Ke pasangan, teman, rekan kerja atau lingkungan kerap terjadi. Misalnya ibu saya nih, kalau lagi kesel sama bapak sayalah yang jadi korban pelampiasan. Ya, anaknya juga sih. Rumah berantakan, cucian belum dijemur, bangun siang, dan masih banyak lagi. Meskipun saya tahu, semua omelan itu untuk kebaikan saya, terkadang saya merasa geli sendiri. Awal-awal setelah melahirkan, saya cukup baper jika ditegur seperti itu. Hasilnya, saya sering drop kelelahan karena mencoba menyelesaikan perkejaan rumah. Tapi semakin lama saya menyadari, kalau kondisi begitu terus ya saya sendiri yang akan kerepotan. Jadi, ketika ibu mulai melampiaskan emosinya ke saya, saya menjadi pendengar yang baik dan mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah. Meskipun kadang masih tidak memenuhi standar ibu saya. *soalnya standard saya rendah banget *
Lalu bagaimana, saya ke Cinta? Setelah dirunut, ternyata gemes yang pernah saya rasakan dulu bukan karena Cinta melakukan sesuatu. Pernah suatu malam, Cinta tiba-tiba rewel. Tidak mau tidur dan menangis. Digendong pun tidak berhenti menangis. Mamaknya ngantuk dan lelah. Gemes? Pasti. Jika sudah begitu saya akan segera tarik nafas panjang. Ketika sudah sampai puncaknya, saya juga ikutan menangis. Hasilnya? Cinta makin nangis 🤣🤣🤣. Dan saya menyadari sepenuh hati, kalau perasaan gemes karena tidak bisa menaklukan Cinta lantaran suami saya sedang memancing. Mamak iriiiiiii!!!! Eh, tapi itu dulu sih waktu awal-awal suami suka memancing. Kalau sekarang tidak lagi. Saya juga lebih menikmati waktu saya dengan Cinta.
Baiklah. Sekian curhatan saya di awal Oktober ini. 😚😚😚