Beberapa hari lalu, saya mendapatkan email dari sebuah kegiatan, yang bertujuan menginspirasi anak-anak sekolah untuk mengetahui banyak profesi. Jadi, saat dewasa nanti, pilihan mereka bukan hanya dokter, polisi, tentara, atau pilot.
Sebenarnya, saya cukup terkejut mendapatkan email tersebut. Karena saya belum pernah mencoba mendaftar jadi salahsatu yang menginspirasi. Atau bisa jadi karena beberapa tahun lalu, saya pernah diajak bergabung menjadi relawan. Sayangnya, saat itu hari saya belum tergerak di dunia relawan 😢😢. Sebelum mendapatkan email tersebut, saya pun sempat mengutarakan pada sahabat saya yang sudah lama bergabung di kegiatan tersebut.
A: “Nyah, aku dari dulu pengin banget ikut KI. Tapi entah kenapa gk pernah PD. Terus bingung juga, profesinya sekarang apa?”
S: “Ayuklah ikutan. Seru lho. Daftar jadi blogger aja,”
A: “Ya elah, blog isinya kebanyakan curhat gitu. Masa iya mau ngajarin anak-anak curhat?” **mulai labil**
S: “Gak apa-apa kali. Temanku pernah ada yang daftar sebagai blogger kok.”
A: “Kalau daftar sebagai ibu rumah tangga boleh gak? Siapa tau menginspirasi anak-anak itu mempersiapkan diri menjadi ibu rumah tangga?”
Dan percapakan itu kami tutup dengan gelak tawa. Sahabat saya tentu bingung harus menjawab apalagi pertanyaan saya yang ajaib.
Tapi, sesungguhnya sayapun penasaran. Apakah menjadi ibu rumah tangga tidak menginsipirasi?
Dulu saat masih duduk di bangku SMA, ibu saya kerap mengatakan setelah lulus kuliah, bekerja, lalu menikah. Pernah saya berkata ingin menikah muda, tapi ibu saya menjawab, yakin ingin segera menikah dan punya anak? Ibu saya memang tidak pernah benar-benar mempersiapkan saya menjadi ibu rumah tangga. Tapi juga tidak mempersiapkan atau memaksa saya menjadi ibu yang bekerja. Keiinginan saya menjadi ibu rumah tangga, awalnya karena dulu saat SMA saya merasa ibu sering tidak adil menyayangi, tidak perhatian, kurang peka, dan lain-lain. Padahal, ibu saya murni ibu rumah tangga yang hidupnya 25 jam untuk anak dan suaminya. Bagaimana anak saya nanti ketika saya bekerja? Itu pikir saya dulu.
Saat mulai bekerja, saya mulai merasakan nikmatnya memiliki penghasilan sendiri. Keinginan saya pun mulai beralih, tetap bekerja meski sudah menikah dan punya anak. Tapiiiiii, saya tetap berpikir keras bagaimana caranya agar anak saya lebih banyak waktu bersama saya, ketimbang ditinggal bekerja. Saya rasa, sebagai wartawan adalah yang paling fleksibel. Saya bisa membawa anak untuk mengetik berita atau liputan.
Namun, seiring berjalannya waktu. Sering bertemu dengan perempuan dari banyak profesi, akhirnya sayapun kembali mengukur seberapa pentingnya saya tetap bekerja setelah menikah dan punya anak atau menjadi ibu rumah tangga. Jadi, karena setiap perempuan punya tolok ukur yang berbeda, keputusan tetap bekerja atau menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan masing-masing kan. Yang sering saya pertanyakan (dalam hati sih), bagaimana mempersiapkan anak-anak kita menjadi ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga nantinya? Pernah kepikiran gak sih? Entah nanti mereka tetap memilih bekerja atau tidak, sudah siapkah mereka menjadi ibu dan ayah di rumah?
Dalam percapakan sehari-hari, saya sering melontarkan kalimat
“Cinta, nanti kalau sudah menikah dan punya bayi, bayinya disusui ya. Sampai 2 tahun, lebih boleh.”
“Cinta suka ya gendong boneka? Latihan buat gendong bayi nanti ya?”
Reaksi Uti dan Mbuknya? “Kecepaaatan woii, anaknya aja belum jelas ngomongnya”
🤣🤣🤣
Saya berharap percakapn ringan antara saya dan Cinta tertanam di alam bawah sadarnya. Dan semoga saja, saya bisa mempersiapkan dia dan adik-adiknya nanti menjadi ibu rumah tangga dan kepala keluarga yang baik. Amiiinn.
Nah, karena saya belum mendapatkan jawabannya, maka saya akhiri dulu tulisan tidak berfaedah malam ini.