Suasana hari Raya tentu menjadi kesempatan kita untuk bertemu keluarga. Terutama yang memang jarang bertemu atau tinggal berjauhan. Kesempatan seperti ini tentu tidak ingin dilewatkan. Apalagi, keluarga suami memang tinggal di kota yang berbeda. Meskipun jarak tempuh kami hanya 2-3 jam saja.
Kebetulan, Cinta memiliki beberapa sepupu (dari saya maupun suami). Mulai dari yang seumuran sampai yang besar. Soal kedekatan, tentu saja Cinta lebih dekat dengan anak-anak mbak saya yang kedua, bagaimana tidak hampir setiap hari mereka ke rumah. Jika tidak, mereka rajin video call.
Apakah mereka selalu bermain bersama? Tentu saja. Apakah mereka bebas konflik? Ih, tentu tidak 😂. Selalu ada perdebatan di setiap permainan yang mereka lakukan. Apa yang saya lakukan ketika konflik terjadi? Saya memilih saya diam menjadi penonton (bener-bener nonton, sambil ngemil). Kecuali, konflik sampai adu fisik mau tidak mau saya harus turun tangan. Yang diselamatkan, korbannya duluan.
Nah, saat Lebaran lalu, Cinta tinggal di rumah utinya bersama sepupu yang usianya hanya beda dua bulan, Kesya namanya. Sejak dulu, Cinta memang selalu di sounding kalau Kesya adalah adiknya. Harus salig menyayangi dan mau berbagi.
Hari Pertama
Benar saja, ketika hari pertama bertemu mereka sangat-sangat bahagia. Saling menyayangi dan mau berbagi mainan bersama. Malahan Cinta seperti mengerti kalau dia yang lebih tua, harus menjaga dan melindungi adiknya. Usia keduanya yang tidak terpaut jauh, tentu saja masih sama-sama aktif.
Saya yang bercita-cita punya anak kembarpun secara tidak langsung kesampain 😂. Satu pangku, satu mau juga. Satu disuapin makan, satunya juga. Satu gendong, satunya mau juga. Punya anak kembar gitu gak sih? 

Hari Kedua
Konflik di mulai. Tentu saja bukan konflik besar, tapi sudah mulai ada yabg diperebutkan. Meski pada akhirnya mereka kembali bermain bersama.
Mamak masih selow 😛. Soalnya ada uti dan tante yang bantu mengawasi.

Hari Ketiga
Di hari ketiga, lebih banyak lagi konflik yang terjadi, tapi mereka seperti perangko. Kemana saja selalu berdua. Bahkan ketika kami pulang ke Balikpapan Kesya menangis ingin ikut ☹️☹️.
Melihat keseruan Cinta dan sepupu-sepupunya, saya jadi teringat sama kecil saya. Punya banyak sepupu tapi tidak pernah bermain bersama *miris*. Sampai usia 5 tahun, saya hanya punya dua teman, Huda (tetangga dekat rumah) dan Enot (keluarga yang rumahnya di belakang rumah embah). Hanya mereka .Padahal di kampung, banyak anak yang seumuran saya. Entah ibu bapak yang dulu banyak melarang saya bermain di luar rumah, atau emang saya yang pemalu 😆.
Dan karena bapak sakit sejak saya kecil, mengunjungi keluarga untuk bertemu sepupu memang jarang dilakukan. Makanya saya hampir tidak pernah mengalami konflik dengan sepupu. Bahkan dengan kakak sendiripun tidak. Usia terpaut 5 tahun, membuat mbak saya enggan bermain dengan adiknya 😒. Ketika sudah besarpun kami hampir tidak pernah berkonflik. Kalaupun iya, hanya ngedumel dalam hati.
Boleh jadi juga, kalimat ajaib yang selalu dikatakan ibu dari kecil. “Kalian kakak adik, harus saling menyayangi, saling menjaga, dan saling bantu. Tidak boleh bertengkar. Kalau nanti ibu bapak sudah tidak ada, hanya kalian yang bisa saling menolong”. Panjang ya? Tapi itulah yang selalu diucapkan ibu saya dari dulu. Alhamdulillah sampai hari ini (dan seterusnya, amin) kami saling melengkapi.