Dalam agama Islam, salahsatu tanda kedewasaan laki-laki adalah dilakukannya penyunatan. Namun, apakah semua anak laki-laki dengan mudah mau begitu saja menerima tawaran sunat. Biasanya, yang mereka khawatirkan bukan menjadi dewasa, tapi rasa sakit yang ditimbulkan setelah sunat.
Saya yang berasal dari tiga bersaudra perempuan, tentu tidak pernah tau bagaimana proses sunat. Punya sepupu dan keponakan laki-laki pun tinggalnya berjauhan. Nah, karena kebetulan sekarang saya tinggal bersebelahan dengan paman yang punya anak laki-laki, maka saya memiliki kesempatan (dan mungkin pengalaman untuk anak laki-laki (amin) saya nanti).
Keputusan sunat yang dilakukan Okik (keponakan saya) sebenarnya agak mendadak. Ya! Sangat mendadak. Awalnya dia ingin sunat di bulan desember. Eh setelah lebaran ditawari (saudara yang berprofesi sebagai perawat) untuk sunat, dia mulai galau. Eh (lagi) ditanyain terus sama keluarga, dan ditambah teman bermainnya yang berdepanan rumah baru saja sunat. Jadilah dia memutuskan untuk sunat.
Meskipun banyak yang bilang tidak sakit, Okik tidak lantas percaya. Benar memang, saat disunat memang tidak sakit. Soalnya di bius lokal. Setelah sunat, jeng jeng jeng. Cuma yang sunat yang tau rasanya. Ha-ha.
Beberapa bulan lalu, sempat terjadi percakapan antara sepupu laki-laki.
O: “Mas, sunat itu sakit kah?”
G: “Gak kok. Cuma kayak digigit semut.”
Okik mulai menunjukkan wajah lega.
G: “Tapi semutnya sekampung” menjawab dengan wajah datar
Wajah Okik kembali tegang 😶😶
Jadi, menurut analisis abal-abal saya, saat memutuskan untuk sunat yang perlu dipersiapkan adalah psikologis si anak. Seperti melahirkan, selalu ada yang takut dengan rasa sakit. Padahal, sakit itu pasti, tinggal bagaimana kita yang menjalani. Tsaaaahh
Dan yang kedua budgetnya, apalagi kalau tipe mamak-mamak yang suka ramai bikin acara. Budget perlu disiapkan secara matang-tang-tang.
Ketiga, kalau bisa sih jangan akhir bulan, belum tentu udah gajian, wkwkwk.
Dan inilah sedikit dokumentasi saat sunat berlangsung (mamak lagi suka foto-foto) 





