Cinta di Ibukota : Menikmati Puncak Monas

Yeay, setelah lebih dari seminggu dibuat dilema karena handphone rusak, saya ingin bercerita lagi tentang pengalaman jalan-jalan ke ibu kota.

Katanya, belum ke Jakarta kalau belum menginjakkan kaki di monas. Maka, kami bertiga menyempatkan diri untuk mampir. Padahal, saya sendiri sebelumnya sudah sering ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Tapi, tidak pernah terbesit sedikitpun untuk mampir ke monas 😌.

Maka, hari Senin sesampainya di ibukota kami langsung menuju monas. Gak langsung sih. Tadinya kami berencana ke tanah abang. Ternyata jam tutupnya pukul 3 sore 😅. Kamipun berbelok. Bingung mau kemana. Abang driver taksi online menyarankan ke plaza senayan. Karena bingung, kami mengiyakan. Sesampai di sana. Jeng jeng. Ya mall bangetlah yaaa🤣. Saya yang mentalnya lagi jadi turis (ceiileeeh) gk betah di mall. Menurut saya, semua mall sama aja. Mungkin karena saat bekerja dulu saya biasa masuk mall tiap hari, jadi sekarang udah eneg. Ke mall, ya kalau ada perlunya saja.

Rencananya, kami ke Monas ke esokan harinya. Tapi karena tidak ada tujuan, maka dipercepat saja.

Dan sesampainya di Monas ……..

Ternyata monasnya tutup saudara-saudara 😤. Setiap hari senin, Monas memang selalu ditutup. Menurut keterangan petugas, hari senin adalah hari pemeliharaan. Petugas memberi keterangan kalau Monas dibuka sampai malam. Hanya saja jam kunjungan untuk naik ke monas, ditentukan oleh kuota. Pagi sampai siang (agak sore) jauh lebih banyak. Sekitar 1000an pengunjung boleh naik. Sesang malam hari, hanya 500an pengunjung saja.

Tenang saja, meski ditutup pengunjung tetap bisa menikmati keindahan Monas lewat parkiran. Yang didekatnya ada banyak stand-stand kuliner Lengang Jakarta.

Keesokan harinya, setelah suami pulang dari tugas negara, kami kembali ke Monas. Kami sengaja memilih berkunjung pada malam hari. Biar bisa menikmati kerlap-kerlip lampu Monas. Kami sempat kebingungan, dimanakah lintu masuknya. Karena sekeliling Monas ada pagar yang digembok. Leher kita kudu di toleh-tolehin dikitlah 😵. Karena ternyata, ada papan keterangan pintuk masuk. Yang membuat tidak terlihat, karena pengunjung akan melewati terowongan di bawah tanah.

Terowongan bawah tanah menuju Monas

Diujung terowongan, tersedia loket tiket. Untuk berkunjung ke cawan, hanya perlu membayar Rp 5.000,- Jika ingin naik ke puncak, pengunjung perlu menambah Rp 10.000,-. Tentu saja, kami memilih sampai ke puncak. Meskipun datang selepas magrib, ternyata antran ke puncak cukup banyak. Dan baru dibuka pukul 7.30. Meskipun begitu, kita tetap harus melapor dulu untuk meminta nomer antrian lagi. Oh iya, sambil menunggu antrian kita bisa melihat-lihat bagian bawah Monas yang dijadikan museum. Patung-patung yang menggambarkan aktivitas perjungan zaman dahulu bisa dilihat.

Komentar saya saat melihat museum ini adalah “Duh, coba museum Tenggarong dirawat seperti ini ya. Pasti bagus”

Setelah menunggu hampir satu jam, kamipun bisa naik ke puncak Monas. Satu kloter lift hanya diisi 10 orang. Tapi di atas, pengunjung bebas melihat-lihat tanpa dibatasi waktu.

Menurut saya, Monas lebih pas dinikmati malam hari. Karena banyak lampu dari gedung-gedung sekelilingnya. Hanya saja, anginnya jadi lebih kencang dan dingin.

Ceritanya ingin menunjukkan ketinggan Monas. Tapi malah kayak selfi zaman old. Dari atas 😪
Pengunjung bisa melihat-lihat sekeliling Monas lewat teropong ini. Tapi saya malah bingung, karena jadi super duper besar 😹

Untuk turun ke bawah, kita haru kembali mengantri. Tapi tentu saja tidak selama saat naik.

Monas memberikan kesan di hati. Ikon kota Jakarta ini, wajib dijaga. Agar tetap bisa dinikmati anak cucu kita.

Oleh-oleh dari Monas. Kami sengaja menggunakan jasa fotografer yang banyak disekitar Monas. Sangat menyenagkan, karena kami punga foto bertiga yang cukup bagus 🥰

Tinggalkan komentar