“Di dunia ini, kita hanya seseorang. Tapi di mata anak orangtua adalah DUNIANYA” – Dian Novianti
Begitulah sepenggal kalimat yang cukup mengena di hati saya kala membaca buku Ibu dan Sang Jagoan. Buku yang saya baca saat baru menjadi seorang istri pada 2016.
Saya sangat-sangat bersyukur, bangga (dan juga dag-dig-dug), karena banyak bertemu dengan para perempuan hebat di banyak profesi sejak masih bekerja -jomblo pula-. Mereka membuka mata dan hati saya, bahwa menjadi ibu adalah anugrah terindah. Sayapun berkenalan dengan beberapa komunitas yang berhubungan dengan para ibu. Salahsatunya FormASI Kaltim (sekarang AIMI Kaltim) dan FormASI Balikpapan. Ikut di kelas-kelas edukasi, hadir di kopdar ataupun talkshow juga saya jabani. Dengan dalih untuk keperluan berita, padahal saya yang ingin belajar. Hingga suatu hari, FormASI Balikpapan mengadakan event yang berkolaborasi dengan Komunitas Gentlebirth Family. Komunitas yang memberikan saya pengalaman berharga lainnya.
Perjalanan saya sebagai seorang ibu.
Sesaat setelah akad nikah, yang selalu saya dan suami tunggu-tunggu adalah dua garis di test pack. Lucunya, beberapa bulan sebelum menikah, jadwal halangan saya malah tidak teratur. Dan itu berlangsung sampai setelah menikah. Jadilah, saya makin dag-dig-dug.
Namun tidak menunggu lama, hanya tiga bulan saya diberi kepercayaan Allah SWT menjaga janin di rahim saya. Sayapun dengan segera menghubungi Bidan Neny Rahmawati, owner Griya Bunda Sehat yang juga praktisi gentlebirth di Balikpapan.
Mbak Neny, menyambut saya dengan antusias. Sayapun diajak bergabung di grup whatssapp (sekarang sudah beralih ke telegram) Gentlebirth Family. Sejak tahun hamilpun, mengikuti kelas persiapan Gentlebirth sudah masuk dan list saya. Tapi, saya baru bisa mengikuti kelas tersebut saat usia kehamilan 16 minggu. Tentu saja, saat kelas dibanding teman-teman lain, perut saya masih belun terlalu kelihatan. Hanya seperti kekenyangan makan 😆😆.

Bersama suami, kami mengikuti kelas ini sampai malam. Ya, sampai malam. Saking serunya kelas. Lewak kelas Gentlebirth ini saya menanamkan niat kepikiran bawah sadar untuk menghadapi persalinan dengan sadar, tenang dan nyaman. Perlu digaris bawahi adalah gentlebirth bukanlah anti secar. Tapi bagaimana membantu para ibu memberdayakan dirinya agar minim trauma. Buat saya pribadi, hamil dan melahirkan adalah kodrat perempuan, sakit boleh jadi. Tapi kita tentu bisa mengajak tubuh kita untuk menerima dan menikmati rasa sakit itu. Membuatnya lebih nyaman. Sehingga tak perlu ada ketakutan-ketakutan pada proses kehamilan hingga melahirkan.
Saat di kelas ini, ada satu hal yang akhirnya saya sadari. Apaan tuuhhh ?? Para suami, diminta untuk mencubit para istri sekuatnya. Para istri diminta untuk mengatur nafas agar bisa meminimalisir rasa sakit yang diterima. Beberapa ada yang tersentak saat dicubit. Ada yang mencoba tetap tenang. Dan saya? Malah tertawa ngakak. Ngakak??? Iya ngakak?? 🙈🙈
Tampaknya ada yang aneh dengan saya. Tapi ternyata, hal tersebut malah membantu saya. Sayapun teringat, pernah mendonorkan darah. Dan setiap saya melakukan donor darah, saya selalu kegelian saat jarum suntik menembus kulit. Jadilah sepanjang donor darah berlangsung, saya mencoba menahan tawa. Saat pemeriksaan kehamilan ke dua kali ini, Griya Bunda Sehat mewajibkan pemeriksaan darah pada saya. Bidan Putri saat itu kesulitan mencari – cari nadi. Sempat beberapa kali tusuk, tapi belum juga berhasil. Setiap kali tusuk dan jarum bergoyang, saya tertawa kegelian.
Karena tertawa saat muncul rasa sakit, hal tersebut yang saya jadikan visualisasi saat akan bersalin. Ya, saya akan bersalin dalan keadaan tertawa. Alhamdulillah, Allah mengabulkan segala visualisasi dan doa-doa saya. 
Oh iya, jika membayangkan kelas gentlebirth ini seperti seminar, maka salah besar. Kelas ini dilakukan dengan santai dan penuh kebahagiaan. Karena ada saja tingkah lucu dari para peserta. Praktik juga banyak dilakukan, jadi bukan hanya teori.
Selain saya tipe yang suka siap-siap, saya punya alasan lain kenapa semangat belajar gentlebirth. Seperti yang pernah saya tulis di birthstory Cinta.
Memiliki dua orang kakak perempuan, yang sudah melewati persalinan tentu memberikan intervensi pada saya, adik paling kecil. Tak hanya itu, melahirkan selalu identik dengan rasa sakit. Itulah yang kerap saya dengar dari banyak teman. Sakit? Boleh jadi. Tapi yang sering kita lupa adalah tiap orang punya tingkat rasa sakit yang berbeda. Buat si A sakit. Belum tentu untuk si B atau C bahkan D.
Nah, ada satu kejadian yang cukup berkesan buat saya. Siapa sangka, itu menjadi bekal untuk saya. Saat masih mengenakan seragam putih abu-abu, saya pernah menonton sebuah film (yang sampai sekarang saya tidak tahu apa judulnya 😅). Dalam film tersebut, ada satu adegan yang menggambarkan proses persalinan dua orang perempuan. Proses persalinan yang sangat bertolak belakang. Perempuan A, seperti proses persalinan yang banyak saya dengar (dulu), datang ke Rumah Sakit dengan panik, berteriak kesakitan dan emosional. Bahkan, belum apa-apa dia sudah mengibarkan bendera putih untuk melewati proses persalinan normal. Dokter, tidak serta merta mengiyakan. Ia meminta si perempuan A untuk tetap tenang sambil menunggu pembukaan lengkap. Ketika dokter bertanya, dari skala 1-10, ada di nomer berapakah rasa sakit yang ia rasakan. “Apa tidak ada angka 11?” Jawab perempuan A sambil meringis kesakitan. Di saat yang sama, datanglah perempuan B dengan kondisi yang jauh berbeda. Perempuan B datang dengan dandanan maksimal (mungkin banyak yang nyinyir, termasuk saya dulu “masa iya mau lahiran cantik gitu 😝”). Dari cara berjalannya, ia bak peragawati. Tak terlihat sama sekali kalau ia sedang menikmati gelombang cinta. Dokter menanyakan hal yang sama seperti perempuan A, ada di skala berapakah rasa sakit yang ia rasakan. “Err.. Apa tidak ada angka 0?” Jawab perempuan B sambil tersenyum lebar. Dokter kebingungan dan memutuskan untuk melakukan pemeriksaan. Begitu diperiksa, dokter sangat terkejut karena ternyata perempuan B sudah siap bersalin. Bukaan sudah lengkap. Dokter pun memintanya untuk siap-siap mengejan. Tiba-tiba, perempuan B mengangkat tangannya dan mengatakan “Sebentar, saya mau bersin,”. Daaannnn, pada saat bersin bayi ikut meluncur dengan lancar. Dan bersin terjadi kembali, bayi kedua pun lahir. Perempuan B ternyata hamil anak kembar. Bagaimana dengan perempuan A? Ia juga berhasil melewati persalinan dengan normal. Hanya saja, ada drama yang mengikuti proses persalinannya.
Dulu, saat menonton film itu, saya (dan mungkin orang lain) akan bilang itu film banget. Gak masuk akal. Ya saat itu, saya memang belum tahu apakah itu mungkin terjadi di kehidupan nyata. Tapi dari film itulah, saya bertekad untuk bisa melewati proses persalinan dengan nyaman dan tersenyum bahagia.
Tak hanya itu, orang pertama yang ingin saya selamatkan dari trauma adalah suami saya sendiri. Keinginan kami untuk punya anak lebih dari satu, tentu harus dengan persiapan. Dialah orang yang akan menjadi pendamping saat persalinan. Kenapa bukan saya? Entahlah. Saya pikir dukungan pertama yang paling saya butuhkan adalah dari dia. Jika ia mendukung, maka saya dan anak(-anak) kami nantinya akan mampu meminimalkan trauma dan intervensi yang kerap membayangi.
Maka jangan heran ketika sejak berstatus sebagai pacar, suami saya ajak mengikuti banyak kegiatan dan Kelas edukasi menyusui. (Sampai-sampai suami pernah bertanya, gk malu kalau suaminya ngikutin terus kemana-mana? Nanti dikira suaminya gk percaya sama istrinya. Ah sudahlah pak, kalau gk ada bapak siapa gang bakal jagain Cinta pas mamak belajar **ehh** itu sih sekarang ya**)
Setelah mengikuti kelas hypnobirthing di usia kehamilan yang relatif muda, saya mendapatkan “tantangan” untuk bisa lebih tekun menjalani proses kehamilan.
PR saya boleh jadi lebih banyak dari yang lain. Awalnya saya rajin untuk check list. Namun lambat laun saya malah sengaja tidak mengisi kolom-kolom PR. (Please jangan ditiru ya ibu-ibu). Saya ingin memantapkan hati, kalau saya mengerjakan PR-PR tersebut karena ingin melewati persalinan yang penuh persiapan. Bukan karena takut pada Bidan Neny -yang padahal juga gak marah kalau saya gak kerjain PR-.
Yoga di Griya Bunda Sehat pun saya ikuti setiap Sabtu dan Minggu (kadang hanya sekali seminggu). Saya sengaja datang ke GBS hanya menggunakan motor. Di mana banyak orang yang selalu melarang ibu hamil menggunakan motor. Sendirian. Bukan tanpa alasan. Saya sengaja naik motor biar cepat sampai. Rumah saya di Barat dan Griya Bunda Sehat di Timur cukup memakan waktu, jika saya harus naik mobil. Ditambah lagi, dulu masih ada almarhum bapak. Jadi sebagai ganti saya keluar rumah, suamilah yang menggantikan tugas saya jika ibu butuh bantuan untuk merawat bapak. Selama 20 minggu, rute barat ke timur selalu saya lalui. Sampai-sampai tidak ada lagi rasa jauh. Berkendaraan jauh seperti itu juga mengobati rasa rindu saya saat masih liputan keliling kota Balikpapan.
Dari Mana Datangnya Cinta?
Saya mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandungan di usia kehamilan 24 minggu. Ketika mengetahui jenis kelaminnya perempuan, reaksi pertama saya adalah “Kita panggil apa dia, cinta?” tanya saya pada suami. Tanpa ragu, suami segera menjawab. “Cinta. Karena mamah dan papahnya selalu saling memanggil dengan kata Cinta. Kita panggil saja dia Cinta.” Norak? Lebai? Emang. Hahahah 🤣😂🤣😂
Ketika Cinta Memberikan Tandanya
Memasuki awal bulan Desember, perasaaan galau mulai saya rasakan. Bagaimana tidak, beberapa teman yang HPLnya tidak jauh dari saya sudah bertemu dengan buah hatinya. Lalu giliran saya kapan? Belum lagi ibu dan bapak saya yang rajin bertanya kapan prediksi, sudah merasa ada tanda-tanda atau belum, dan lain sebagainya. Afirmasi saya sejak awal adalah melahirkan tepat di usia 40 minggu. Eh tiba-tiba berubah. Lahirlah cinta, kapanpun kamu siap. Mamah, papah dan semua keluarga sudah menunggumu dengan suka cita.
Berbeda dengan mamahnya yang gampang galau, ternyata cinta tetap pada pendiriannya. Ia sudah berjanji dengan Allah. Dan hanya Allah dan Cintalah yang tau kapan waktu yang tepat.
Di usia kehamilan 38 minggu, saya berniat melakukan pemeriksaan kehamilan dengan dokter yang terakhir. Kenapa? Untuk menghindari intervensi yang belum perlu. Pemeriksaan dokter, alhamdulillah aman. Dokter pun berpesan untuk lebih sering memancing induksi alami dan meminta saya mengurangi makanan manis. Berat badan janin diperkirakan sudah lebih 3 kg. Maksudnya biar bayi tidak terlalu besar.
Dua minggu mendekati HPL, hanya kontraksi palsu yang saya rasakan. Galau dong pastinya 😹😹.
Di tanggal 16 Desember saya mulai mendapatkan tanda lendir coklat. Bahagia pastinya. Tapi hanya sedikit sekali. Gelombang cinta juga belum rapat. Di hari Sabtu, 17 Desember saya memutuskan untuk periksa ke Griya Bunda Sehat. Mengingat sudah 40 minggu sudah usia kehamilan saya. Saya juga ingin memastikan berat badan janin 😅. Saat itu, gelombang cinta sudah lebih sering datang. Namun karena masih cukup jauh jaraknya, pemeriksaan hanya untuk memantau ddj janin tanpa pemeriksaan yang lain. Dan tentu saja saya memilih pulang dulu.
Sampai rumah, saya kelaperan. Mungkin karena sorenya habis jalan kaki di sekitar Griya Bunda Sehat mencari pakle bakso yang biasa nongkrong. Sayapun membeli donat lewat ojek online. Setelah donatnya habis, gelombang cinta malah lebih sering hadir. Belum teratur memang. 10 menit hanya dua kali, ada yang hampir dua menit. Menjelang tengah malam, gelombang cinta malah hadir 3-4 menit sekali.
Saat subuh, saya langsung chat Bidan Neny. Sarannya jika ingin leyeh-leyeh dulu di rumah, tidak apa-apa. Tapi kalau mau leyeh-leyeh di Griya Bunda Sehat silakan saja. Kebetulan di rumah diadakan arisan keluarga. Saya ternyata tidak siap akan menghadapi tamu-tamu. Khawatir saat menikmati gelombang cinta, ada intervensi yang tidak perlu. Dan saya ngantuk berat dan jadi ingin numpang tidur, apalagi suami juga belum tidur semalaman, karena saya minta disayang (baca: dipijat) terus.
Pukul 06.30 pagi saya pun berangkat ke GBS. Saya ingat betul pertanyaan almarhum bapak saat pamit dan minta doanya agar diberi kelancaran. “De, kamu tuh beneran mau melahirkan gak sih? Kok gk ada sakit-sakitnya? Santai betul mukanya?” ujarnya. Ya gimana yaa. Rasanya mules-mules pengin BAB, tapi gk selesai-selesai 😂🤣 . Selain itu, sejak awal kehamilan saya juga menanamkan bahwa rasa sakit yang saya rasakan tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit yang dirasakan bapaknselama bertahun-tahun. Karena itu, saya tidak mau sama sekali menunjukkan wajah yang gimana-gimana. Kalau emoticon muka saya gini terus ☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️.
Kebetulan, hari itu Bidan Neny sedang menjadi pembicara di sebuah seminar. Jadi saya disambut oleh bidandari yang sedang bertugas. Tidak lama sampai Griya Bunda Sehat, saya chat lagi bidan Neny dan mengatakan kalau keinginan untuk mengejan cukup kuat. Bidan Neny sempat mengira jangan-jangan pembukaan sudah lengkap. Saya pun di VT. Daaaaan ternyata saudara-saudara baru pembukaan tiga. Deeeng **dipukul gentong**
“Ah, ternyata saya lebay” pikir saya kala itu.
Ya sudahlah. Saya numpang tidur saja kalau gitu. Setiap gelombang cinta hadir, hasrat mengejan pun sulit ditahan. “Biasa itu,” Kata kakak pertama yang “dipaksa” datang ke Griya Bunda Sehat oleh ibu saya. Intervensi dari keluarga emang cukup besar. Dua kakak yang melewati proses persalinan sc tanpa penerimaan membuat orangtua dan kakak2 menganggap saya akan melewati hal yang sama dengan mereka. Apalagi kakak yang pertama yang seorang bidan di ugd, selalu cerita kondisi persalinan yang gawat dan darurat. Otomatis terekam di alam bawah sadar mereka.
Menjelang persalinan pun sering candaan soal persalinan mereka lontarkan. Buat mereka lucu mungkin. Tapi buat yang butuh dukungan, kalau gk siap bisa tambah baper 😅😅..
Bahkan, ketika kakak pertama saya datang ke Griya Bunda Sehat, duh rasanya jantung mencelos deh ((((mencelooooosss)))). Niatnya menghindari intervensi, eh malah ada intervensi lain. Tapi saya waktu itu pasrah aja, kalau memang si kakak bakal ikut mantengin persalinan. Ya sudahlah. Mungkin emang takdir Allah, pikir saya. Tapi alhamdulillah ternyata dimuluskan jalannya. Si kakak akan dinas malam dan harus segera pulang karena ngantar suami ke bandara dan anaknya ke rumah mertua. 💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻
Saya paham benar, bahwa intervensi yang saya dapatkan, sebenarnya adalah bentuk rasa sayang orangtua dan keluarga. Mereka pasti ingin saya dan cinta sehat dan selamat. Itu pula yang jadi penyemangat saya untuk membuktikan bahwa saya bisa melewati persalinan dengan nyaman dan minim trauma.
Oh iya.. salah satu cara untuk mengurangi kebaperan selama kehamilan , sebenarnya dengan sering ideomotor. Duuluuuuuu taunya cuma rileksasi aja.. setelah ikut kelas, tiap ngerasa mellow, saya langsung ideomotor. Sekalian minta maaf sama bayi, karena belum bisa menjaga emosi.
Nah, sambil menikmati gelombang cinta saya bolak balik jalan di kamar. Saya sebenarnya sempat kesal sama suami, karena tidurnya pulas sekali. KAN SAYA NGANTUK JUGA PAK! 🙈
Untunglah, setelah suami energinya bertambah kembali menemabi saya. Saya dipeluk, dicium, sambil berdansa ala-ala. Bahkan suami sempat bercanda (yang aslinya garing), supaya saya tertawa. Ternyata saat gelombang Cinta muncul dan dibarengi tawa saya, sensasinya berbeda. Saking asyiknya tertawa poster di dinding kamar diturunkan karena bolak balik jatuh tersenggol. (Itu ketawa atau ngapain sih sebenarnya)
Jam 12 siang, saya minta massage induksi pada bidandari Komang dan Marcel. Padahal sebelumnya suami sudah bolak balik memijat. Saya sudah bolak balik ketiduran. Tiap ketiduran, saya selalu ngelindur dan tiba-tiba ingin mengejan. Untunglah suami dan bidandari-bidandari sabar mengingatkan untuk nafas ujay. Setengah jam kemudian karena hasrat mengejan makin menjadi, saya pun diperiksa lagi. Ternyata pembukaan sudah hampir lengkap. Sayangnya selaput ketuban sudah pecah duluan. Saat saya bolak-balik ke kamar mandi, memang sempat keluar cairan. Saat itu saya tidak yakin apakah itu air ketuban atau cairan dari miss v.
Lucunya saat diberitahu pembukaan sudah lengkap, saya buru-buru bangun dari tempat tidur dan mau kabur ke ruang ruang suci (sebutab ruang bersalin di Griya Bunda Sehat). “Ehh, mbak bentar dulu. Tunggu gelombang cintanya hilang aja baru kita pindah. Pelan-pelan saja,” kata Marcel yang terkejut.
Saya ternyata terlalu bersemangat. Ha-ha. Begitu tau pembukaan sudah lengkap, Bidan Neny pun segera meluncur datang. *Padahal baru selesai mengisi seminar, belum sempat foto bareng pula*. Waktu yang saya nikmati di ruang suci cukup lama. Cinta memang ternyata menunggu kehadiran Bidan Neny. Ya, afirmasi saya saat itu memang ingin dibantu bersalin Bidan Neny. Berbagai macam posisi saya coba agar cepat crowning. Mulai dari miring ke kiri. Jongkok, setengah duduk, dan nungging. Buat saya posisi yang paling cepat memacu gelombang cinta adalah nungging. Hal konyol yang kerap saya lakukan selama proses persalinan adalah bolak-balik tertidur. Padahal saya sedang bergerak dan nafas ujay 😑 🔫. Bahkan ketika salahsatu bidandari berencana membeli es kelapa, saya tiba-tiba nyelutuk “Aku mau juga dong cell,” 😹😹😹😹. Ini kalau jadi film komedi lucu gk sih
Mungkin kalau bukan di Griya Bunda Sehat saya sudah diomelin karena kebanyakan tingkah dan bercanda. Tak hanya itu, suami juga lebih sering melontarkan candaan yang membuat saya tertawa. Alhamdulillah sesuai dengan visualisasi saya. Padahal, suami sempat tidak yakin berani menemani saya di ruang suci. Ah, makin jatuh cinta deh dengan keberaniannya 😘😘
Saat proses. Persalinan ibu saya sebentar-sebentar sempat video call dan bilang “lho kok gak nangis de. Nangis aja gk apa2,” saya sempat kepikir nangis gk apa2 kali ya.. terus mikir lagi, kenapa mesti nangis kan mau ketemu sama anaknya 😅😅.. akhirnya minta suami gk terima vc lagi biar saya konsen 😌😌
Akhirnya kepala bayi pun crowning. Cintapun meluncur dengan bahagia. Sebenarnya sesaat sebelum cinta meluncur, saya sempat tertidur lagi 😪😌. Makanya saat ia lahir, rasanya luar biasa menakjupkan. Saya seakan-akan sedang bermimpi 😅😅.
Dengan segera cinta dibersihkan dan langsung IMD sembari menunggu kakak plasenta lahir. IMD yang dilakukan pun cukup lama. Dan setelah persalinanpun kami langsung tidur satu temap tidur. Ahh, bahagianya.
Oh iya, banyak bonus yang saya rasakan setelah melewati proses persalinan yang gentle ini. Di antaranya prenemium utuh, meski sedikit lecet ( gak apa-apalah ya 😹😹), dan yang terpenting saya, cinta dan suami minim dari trauma.
Jadiiiii, poin persiapan dan rutin mengerjakan PR. Ingin melahirkan nyaman, minim trauma dan penuh cinta perlu diusahakan. Kalau ada yang bisa mendapatkannya tanpa berusaha, itu bonus! Tapi, Belum tentu semua orang dapat bonus kan 🤓 ?
Mempersiapkan menghadapi kehamilan, persalinan, menyusui, dan pengasuhan perlu dilakukan. Jangan ragu untuk belajar dimanapun. Jalan-jalan ke tempat pilihan bersalin juga perlu dilakukan.
Persiapkan, persiapkan, persiapakan. Bagaimana hasil akhirnya, serahkan saja pada Allah SWT. ❤️❤️❤️❤️❤️
Tulisan kali ini saya ikut berpartisipasi sekaligus mengingat kembali bagaimana cerita saya, suami dan cinta. Sebagai penyemangat dan persiapan saya menyambut kelahiran si buah hati yang kedua.
Nama: Riska Fikriana
Domisili: Balikpapan
Batch: Martikulasi Batch 6