NHW PB#3 : Self Healing

Saya percaya, apa yang kita lakukan hari ini akan memengaruhi banyak hal di masa depan. Karena itulah, memberikan cinta yang tulus pada anak-anak, akan memengaruhi kehidupan mereka sepanjang hayat.

Kenapa? Saya pernah merasa kurang disayang, diperhatikan, dicintai dan dihargai. Meski, yang saya rasakan belum ada apa-apanya dibanding yang orang lain rasakan.

Materi ke 3 dalam Pra Bunsay #3 kali ini membahas tentang self healing. Begitu membaca materinya, saya teringat bahwa 5 tahun lalu, saya pernah melakukannya. Titik balik dalam kehidupan saya. Atas saran seorang sahabat, saya menuliskan lifeline mapping. Selama 2 minggu. Setiap malam saya menangis. Menangis sedih, kecewa dan marah. Semua saya tumpahkan. Alhamdulillah, saya merasa lega. Semuanya telah lepas.

Dan saat NHW PB#3 diberikan, saya mencoba kembali mengingat. Tidak seperti lima tahun lalu. Kejadian yang dulu tidak menyenangkan, meski masih teringat, tidak lagi membuat saya kecewa atau marah.

Lifeline Mapping

Kejadian saat kecil yang cukup membekas, yaitu saat memeluk bapak dari belakang tp malah dimarahin. Setelah dewasa baru saya menyadari kalau saat itu bapak sedang sibuk dan fokus memperbaikin alat electronik.

Saat SMP hingga SMA, orangtua saya cenderung mengekang. Tidak boleh kemana-mana semua pilihan, orangtua yang mengambil keputusan. Berbeda dengan kakak. Setelah lulus SMA baru saya menyadari kalau yang dilakukan orangtua adalah bentuk rasa sayang. Mereka belum percaya pada keputusan saya.

Memasuki dunia kuliah, baru saya mulai lebih dekat dengan bapak. Banyak aktivitas yang kami lakukan bersama-sama. Mulai belajar keyboard, jalan-jalan. Sejak saya kecil, bapak sakit. Jadi kebersamaan kami terbatas. Hanya di rumah. Ditambah lagi, hanya motor kendaraan yang kami punya. Setelah lebih sering jalan-jalan dan menghabiskan waktu dengan bapak, jembatan anak-bapak yang dulu berlumut kembali ditumbuhi bunga. Hati saya, kembali dipenuhi kasih sayang dari bapak.

Beberapa tahun sebelum menikah, bapak mengalami kecelakaan. Mobilitas yang tadinya terbatas, semakin terpangkas. Bapak hanya bisa di tempat tidur. Di sinilah titik balik semuanya. Saya membantu ibu merawat bapak sampai punya anak. Di awal-awal kecelakaan bapak, rasa dendam dan amarah yang saya simpan sejak kecil kembali menguap. Saya sering menangis, merasa sesak nafas dan nyeri di ulu hati.

Saya sering berbicara dengan diri sendiri. Bagaimana jika saya mengabaikan bapak. Tidak perduli denganbakti atau balas budi. Toh, saat kecil saya merasa “diabaikan”.

Oleh seorang sahabat, saya diminta menuliskan life line mapping. Persis seperti materi PB#3 ini.

Saya menikmati rasa sakit dan kecewa yang timbul saat mengngat kejadian yang telah lalu. Saya mencoba memaafkan. Menerima apa yang telah lalu. Selama kurang lebih dua minggu, saya melakukannya.

Alhamdulillah, saya lebih lega. Lebih ikhlas dalam merawat bapak. Dan satu hal yang menjadi semangat saya memaafkan bapak. Saya tidak mau, anak-anak saya merasakan hal yang sama. Meskipun saya tidak berharap merepotkan anak-anak di masa tua nanti. Tapi saya ingin mereka merawat atas dasar kasih sayang dan cinta.

Jadi, jika dituliskan melalui Jembatan Mizan yang bisa saya simpulkan

Lalu apa Visi terbaik saya? (Pertanyaan no 4) Visi terbaik saya di masa depan nanti menjadi ibu yang penuh kasih sayang dan cinta.

Dan ingin menjadi pribadi seperti apa? (Pertanyaan nomer 5) berkesinambungan dengan pertanyaan nomer 4, saya ingin menjadi pribadi yang lebih sabar dan mampu mengelola emosi. Bisa menyikapi marah tanpa marah-marah.

Meskipun jika dilihat visi saya untuk keluarga, saya tetap ingin berkontribusi besar pada komunitas yang saya ikuti.

Riska Fikriana_NHW_PraBunsay#3

Tinggalkan komentar