Persalinan, bukan hanya soal kelahiran si bayi. Tapi juga ibu atau bahkan ayah yang menjadi pendampinh dalam persalinan. Pada persalinan pertama, saya boleh jadi sudah mendapatkan kenangan yang indah. Namun, siapa sangka kalau persalinan kedua malah menghapuskan sedikit ketakutan pada persalinan pertama.
Ketakutan? Katanya minim trauma. Mungkin jika dibandingkan dengan persalinan kakak-kakak, saya yang paling minim trauma. Tapi, di persalinan pertama saya terlalu menunggu. Boleh jadi karena baru pertama kali, antusiasmenya terlalu tinggi.
Gelombang Cinta yang muncul, belum punya tolok ukur. Masih meraba-raba, sudah sampai manakah perjalan Cinta? Sampai kapankah saya harus menunggu Cinta? Rasa tidak sabaran itulah yang menyisakan ketakutan pada persalinan kedua.
Ketika gelombang (adiknya) Cinta hadir, saya berpatokan pada persalinan sebelumnha. Belum kok, dulu juga seperti ini masih belum ada bukaan. Dulu begini, dulu begitu. Pikir saya.
Doa dan afirmasi yang selalu saya panjatkan adalah bersalin ekspres. Lebih lancar dan lebih cepat dari Cinta dulu. Sampai GBS sudah bukaan lengkap, dan bayi segera meluncur. Plus kembali berjodoh dengan bidan Neny.
Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa dan afirmasi saya. Ketakutan akan menunggu saat persalinan seketika hilang begitu saja. Malahan, sekarang mengingat saat-saat gelombang (adiknya) cinta sangat saya rindukan. Rasanya ingin kembali ke masa itu. Ingin lagi dna lagi.
Sayapun terlahir kembali menjadi ibu. Menjadi pribadi yang baru. Untuk kesekian kalinya. Pengalaman indah ini yang makin saya yakini, moment kelahiran yang indah memberikan pengalaman yang berharga.
Persalinan bukan lagi momok yang menakutkan. Melahirkan adalah sebuah kebahagiaan. Melahirkan bukan tentang rasa sakit yang amat sangat. Tapi melahirkan adalah sebuah kebahagiaan tiada tara. Kebahagiaan yang seharusnya disambut dengan suka cita. Dengan tawa, senyuman dan sentuhan penuh cinta.
