Menyapih dengan Cinta

Ketika beberapa orang mengatakan menyapih adalah saat-saat yang emosional, maka sayapun berpendapat serupa. Sejak awal menyusui, saya sudah memutuskan untuk menyapih Cinta dengan cinta.

Jadi, tidak ada tuh yang namanya kasih liptick, kunyit dan kawan-kawannya. Saya percaya, jika menyapih adalah keputusan besar yang Cinta buat.

Keputusan itu juga didukung support system saya, suami serta ibu saya. Apalagi saat dokter kandungan menyatakan janin di kandungan sehat. Maka proses menyusui sambil sounding menyapih tetap dilakukan.

Tiga jam sebelum bersalin pun, saya masih menyusui Cinta. Bisa jadi, itulah yang membuat gelombang (adiknya) Cinta hadir lebih cepat.

Tandem Menyusui

Namun, siapa sangka ternyata tandem menyusui tidak semudah yang saya bayangkan. Sejak hamil, saya selalu mengatakan ke Cinta kalau adik lahir nanti ia juga akan menyusu. Dan karena si adik hanya bisa menyusu, dia harus didahulukan.

Ngomongnya sih gampang, pas prakteknya. Ambyaaaaaar

Cinta malah tidak mau mengalah. Papah dan neneknya mencoba mengalihkan pun tidak mempan.

Emosi sayapun teraduk-aduk. Adiknya ternyata tongue tie, sehingga proses menyusui kurang optimal. Ditambah lagi ibu saya yang tiba-tiba “makanya, disapih. Gini kan jadinya,”

Laaaaahhhhh

Kemarin dukung-dukung aja, sekarang malah bikin down. Tariiikk nappaaaaaaaas.

Lalu apa saya memaksa Cinta untuk berhenti menyusu? Tidak. 😅

Dia tetap saya berikan kesempatan menyusu, saat adiknya sudah selesai. Saat paling susah adalah malam hari. Karena si papah kerja. Jadi kami di kamar hanya bertiga. Adik menyusu, kakak mau juga. Diminta menunggu nangis guling-guling. Bahkan sering kali sampai tertidur karena adik tak kunjung selesai menyusu.

Mulai Bulat Menyapih

Secara tidak sengaja, teman di grup membagikan pesan tentang proses menyapih. Dimana si ibu membacakan potongan ayat dengan segelas air putih dan diminumkan ke anaknya. Voila, tidak butuh lama si anakpun menyapih dirinya sendiri.

Sayapun ikut mencobanya. Tapi, Cinta hanya mau minum air itu sehari saja. Esoknya ia menolak air putih tersebut.

Fiiuuuuhhh

Tau Gak Sih

Suatu hari, saat meeting komunitas ada teman yang bercerita tentang anaknya yang baru disapih menjelang usia tiga tahun. Teman saya bercerita bahwa menurut penuturan ustazahnya, menyusui harusnya pas 2 tahun. Tidak lebih. Karena akan bla bla bla bla (gak saya tulis ya, monggo ditanya pada guru masing-masing 😁)

Sayapun jadi berpikir. “Iya juga sih. Tapi gimanaaaaaaaa,”

Pulang dari pertemuan itu, sayapun pasrah pada kelanjutan penyapihan Cinta. Namun, pulang dari pertemuan itu, setiap selesai sholat saya selalu berdoa. ”

“Ya Allah, permudah proses penyapihan Cinta. Dia sudah cukup menyusu. Sekarang giliran Rangga,”

Hingga suatu hari, saya akhirnya menyadari kalau Cinta sudah hampir dua minggu tidak menyusu. YA HAMPIR DUA MINGGU DAN KAMI TIDAK ADA YA SADAR. 🤣😂🤣😂

Ternyata itulah waktu yang tepat. Saya diminta untuk pasrah dan berdoa sepenuh hati.

Usaikah Sudah ?

Tentu. Tapi Cinta sesekali sering “latah”, “mah mau nenen” jika dia mengatakan itu sayapun akan berkata “Lho, kakak Cinta kan sudah gk nenen lagi, lupa ya?” Cintapun akan menjawa “ya udah, peluk aja / cium nenen aja kalau gitu,”

Babak baru kami kembali dimulai. Saya yakin, Cinta semakin dewasa karena akhirnya membuat keputusan sendiri kapan mengakhiri waktu menyusu.

Sekarang, saya bisa fokus menyusui Rangga, yang tentu dengan cerita yang berbeda.

Tinggalkan komentar