Jodoh Tak Bisa Dipaksakan Bagian 2

Uap secangkir capuccino dihadapnku mulai menghilang. Cepat-cept kuhirup, agar tetap nikmat selagi masih hangat. Kucek lagi to do list di mejaku. Mungkin ada yang terlewat.

Mataku tertuju pada jadwal di kalender. 2 minggu lagi waktunya aku sidang skripsi. Semua sudah selesai. Semoga semua berjalan lancar.

Apa kabar Adi ya? Belakangan kami jarang berkomunikasi. Meski beda kampus, jadwal skripsi kami berbarengan. “Ya tapi harusnya tetap lancar dong ya komunikasinya!” hati kecilku berbisik. Akupun mengirimkan pesan untuknya. Berharap segera dibalas.

“La. Kamu masih pacaran sama Adi?” tanya Pak Nugroho.

“Errr. Masih pak,” jawabku sendiri tidak yakin.

“Ohhh,” tanggap Pak Nugroho sambil berlalu.

Aku mengernyitkan keningku.


Aku menatap wajahku dicermin. Tampak berbeda dari biasanya. Kali ini, pulasan make up sedikit lebih tebal dibanding yang kugunakan sehari-hari untuk bekerja.

“Ayo La, nanti terlambat,” tegur Ayahku. Bahagia sekali membuat ayah dan bundaku melihat anak pertamanya menjadi sarjana. Sekarang giliran adik-adikku yang berjuang menyelesaikan pendidikannya.


Usai ceremonial wisuda, aku dan keluarga memutuskan untuk makan-makan di pinggir pantai. Tempat favorit kami sekeluarga.

Tanp direncanakan, aku mengutarakan rencana menikah pada bunda. “Kamu yakin? Ibu sih suka sama Adi. Tapi, nanti kita bicarakan dengan ayah dulu ya. Sebelum kamu yang ngomong ke ayah, biar bunda dulu yang ngomong,” kata bundaku.

“Iya bun. Memangnya ada kemungkinan ayah gk setuju ya?” tanyaku. Bunda hanya mengangkat pundaknya.

Aku melihat ayah dan adik-adikku yang bermain layang-layang dipinggir pantai. Lelaki yang selalu jadi pelindung kami sekeluarga. Meski terlihat sangar, ayah sangat menyayangi anak-anaknya.

Yang aku ingat, ayah sangat marah padaku pertama kali saat aku SMA. Aku melanggar jam pulang. Harusnya sebelum magrib aku sudah berada di rumah. Namun ini pertama kalinya aku diizinkan jalan-jalan bersama teman-temanku agak jauh. Bukannya menunjukkan tanggung jawab, aku malah lupa waktu.

Pukul 9 malam aku baru sampai rumah. Handphone sengaja kumatikan, sehingga alasanku tidak bisa dihubungi adalah batre ya g habis. Aku pikir, selain kena omelan aku akan dipukul oleh ayah dan bunda. Seperti kebanyakan teman-temanku jika membuat kesal orangtuanya.

Ternyata yang aku dapatkan jauh lebih parah dari itu. Ayah dan bunda memang tidak memarahiku dengan terikan sama sekali. Keduanya memilih diam dan mengabaikanku. Benar-benar diabaikan. Seperti tidak dianggap ada di rumah.

Aku? Awalnya merasa lega. Tapi baru dua jam dicueki, aku malah stress sendiri. Semalaman aku tak bisa tidur. Keesokan harinya, usai makan siang. Aku mencoba mengajak ngobrol keduanya. Tapi, tanggapannya sama seperti kemarin.

Akupun langsung menangis. Ayahku yang melihat anaknya menangis langsung berkata. “Gk enakkan dicuekin. Ayah sama bunda itu bukan ngelarang kamu jalan. Tapi kami minta kamu bertanggung jawab. Ayah bunda khawatir, kalau ada apa-ap denganmu di jalan. Jangan diulangi lagi ya,” kata ayah.

Sederhana ya. Tapi langsung menusuk ke hatiku. Sejak saat itu, aku tak pernah berbohong atau melanggar aturan keluargaku. Meski hatiku kadang ingin berbelok, tapi aku ingat kejadian itu. Aku tak mau membuat ayah dan bunda kecewa.

Tinggalkan komentar