Jodoh Tak Bisa Dipaksakan Bagian 3

Sudah satu jam aku hanya menetap layar komputerku. Padahal dokumen-dokumen sudah menumpuk, menunggu untuk dikerjakan. Beberapa hari ini aku merasa tidak bersemangat. Apa karena jawaban dari ayah yang ragu-ragu? Atau karena aku sendiri merasa tak yakin. Kulihat ada notifikasi pesan dilayar komputerku.

Gala typing

“Kamu kenapa sih marah-marah terus sama Adi?”

Aku mengernyitkan kening. Huuhhh. Pasti lagi-lagi Adi yang cerita. Adi punya kebiasaan menceritakan permasalahan kami ke teman-temanya. Dan yang membuatku makin kesal, teman-temannya akan menghubungiku untuk membantu mendamaikan. Sesuatu yang menurutku tidak pantas untuk mereka lakukan. Buat apa mereka ikut campur, ayah dan bundaku saja tidak pernah bertanya-tanya.

Aku memilih mengabaikan pesan yang dikirim Adi. Dan seperti dugaanku, pesan-pesan lain mulai muncul satu persatu. Sebenarnya kekesalahku kali ini sudah diambang batas. Jika biasanya aku bisa memaklumi. Kali ini tidak. Adi terlalu berlebihan.

Semua bermula saat aku melakukan treatment wajah seperti bulan-bulan sebelumnya. Entah mengapa Adi sangat marah. Padahal aku melakukan treatment bersama tanteku. “Kamu kok gk prihatin sih. Kamu harusnya bisa menahan diri buat perawatan,”semprot Adi melalui pesan singkat.

Jantungku berdegub kencang. Aku membacanya sambil menahan air mata. Apa yang salah dengan treatment yang kulakukan. Bukankan treatment ini sudah rutin aku lakukan. Dan yang paling penting, aku melakukan treatment ini dengan gajiku sendiri.

Kondisi keuangan Adi bulan ini memang tidak baik. Ia harus menggunakan uang gajinya untuk membiayai adik dan orangtuanya. Tapi aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Bahkan saat kami makan di luar, aku tak ragu membayarkannya.

Namun, kali ini menurutku Adi sudah keterlaluan. Dia sudah terlalu sering mengaturku. Siapa yang berteman denganku, hari in harus seperti apa dan melakukan apa. Adi memang tidak pernah memukulku, tapi aku merasa Adi manipulative. Kali ini, aku memutuskan untuk mundur. Tapi aku takut untuk mengatakannya.

****

Satu bulan lalu aku dikirim tugas ke luar pulau. Aku pikir, itu saat yang tepat menghindari Adi. Dan benar rasanya aku lebih ringan. Tidak ada lagi sesak nafas di kala malam.Tidak ada lagi ketakutan-ketakutan yang tidak penting. Saat kembali bekerja di kotaku pun, aku makin mantap melangkah.  

***

“La, ada yang cari tuh,” kata bunda di depan pintu kamarku. Aku melirik ke jam di dinding. Pukul 06.30 pagi. Siapa yang mencariku jam segini. Ini adalah waktu aku bersiap untuk bekerja. “Adi,” kata Bunda. Rasanya jantungku turun ke arah perut. Aku tak tahu harus bagaimana, namun kakiku mantap melangkah ke ruang tamu.

Adi duduk menungguku sambil tersenyum salah tingkah.

“Apa kabar,” tanyanya. Aku tak menjawab. Hanya memberi tatapan aneh kepadanya. “Err, aku tuh sudah dua minggu ini selalu ke kantormu. Nungguin pulang kerja, tapi gk pernah ketemu. Dari jam 7 sampai jam 11 malam aku nunggu,” tambahnya.

Aku kaget. Karena aku tak pernah pulang kerja selarut itu. Dan selama dua minggu ini, aku selalu pulang pukul 8. Jika benar dia menunguku, harusnya kami bertemu. Aku langsung teringat perkataan ayah tempo hari saat tau keberangkatanku keluar kota sekaligus menghindari Adi. “Kalau jodoh pasti bertemu. Sejauh apapun kamu menghindar, kalau memang jodoh ya jadi”

Adi mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan memberikannya padaku. Cincin. Adi berlutut dan berkata, mau nikah ama aku?

Aku terdiam. Bunda dan ayah pun tak bereaksi apa-apa.

“Sori Di, aku gk bisa. Aku tahu hubungan kita sudah lumayan lama. Tapi aku gak bisa,” harusnya hubungan kita gk bikin aku tertekan. Harusnya aku bisa jadi diriku sendiri.Tapi kenyataannya gk gitu. Cincinnya kamu kasih aja ke Chika. Kalian kan sudah lama berhubungan di belakangku,” cercahku.

Adi melotot kaget. Terlebih lagi ayahku. Ternyata selama ini anaknya sudah diduakan. Ayah dan bunda meminta Adi pulang dan tidak perlu memaksakan diri lagi. Untunglah ayah dan bunda tidak terbawa emosi.

“Kamu tau dari mana kalau Adi selingkuh?” tanya bunda.

“Semalam Pak Putra tanya hubunganku dengan Adi. Apa sudah putus. Aku jawab sudah. Padahal bunda taukan aku belum memutuskan secara resmi. Dan bunda tau jawaban Pak Putra. Syukurlah. Karena saya itu bolak balik ketemu dia sama pacarnya di rumah budenya. Suami budenya itu pakde saya. Setiap ketemu saya itu tidak yakin sebenarnya. Kan saya gk pernah ketemu langsung sama dia. Tapi anehnya kemarin itu dia makin salah tingkah waktu saya bilang kok kamu mirip pacarnya Lila. Bayangin bun, selama ini Lila kira Lila yang gak tau diri. Ternyata, ha-ha,” kataku seraya mencomot roti di atas meja.

“Alhamdulillah ya La. Semoga kamu dipertemukan dengan lelaki baik dan bertanggung jawab. Bukan hanya di kehidupan ini, tapi juga di akhirat nanti,” kata Ayah.

Memang tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi juga bukan waktu yang pantas untuk dijadiakan acuan melanjutkan pilihan.

*** tamat

Tinggalkan komentar