Melakukan sesuatu tanpa tujuan, mungkin akan berakhir tak jelas. Atau malah berhenti ditengah jalan. Eh, itu sih aku. He-he. Bergabung di Kelas Literasi Ibu Profesional, sudah sejak lama aku nantikan. Namun, baru di tahun 2022 ini aku berjodoh. Goalnya kali ini ingin aktif menulis di blog. Eh sama seperti goal saat membuat blog sih. Tapi karena tanpa “rumah” goalnya tak berjalan sebagai mana mestinya. Di KLIP aku ingin konsisten menulis setiap hari. Tentang apa saja. Semua yang singgah di kepala, ingin aku abadikan melalui tulisan dan tampil di blogku.
Setelah berhasil melalui gerbang kelas, kami anggota KLIP memulai bulan Februari dengan Kelas Persiapan. Agar semangat kami semakin terpacu, di kelas persiapan kami menyambut dengan mengikuti materi Kelas Persiapan bersama ibu Septi Peni Wulandani pada Rabu, 2 Februari 2022. Temanya adalah Perempuan Berdaya, Dari Rumah untuk Dunia.
Perempuan berdaya adalah perempuan yang memahami diri dan potensinya, mampu membawa dan menghadapi perubahan, serta mampu berdaulat penuh atas dirinya. “Mandiri. Tidak bergantung pada siapapun sebenarnya. Dalam berproses tidak bergantung pada siapapun. Hanya bergantung pada Allah,” kata ibu Septi. Sehingga saat memutuskan akan sesuatu, itu karena kita. Bukan karena paksaan siapa-siapa. “Termasuk saat memutuskan ikut KLIP. Bukan karena panas melihat postingan teman di sosial media,” tambah bu Septi.
Komitmen dan konsisten adalah kunci jika kita melakukan sesuatu. “Sehingga ketika ada perubahan, kita sudah siap dengan strateginya,” kata bu Septi.
Kenapa antar perempuan satu dan yang lain tidak bisa menghasilkan karya yang sama? Kita perlu memahami sudut pandang perempuan tentang rumah. “Karena sudah di rumah, tidak perlu mengeluh,” tegasnya. Rumah adalah tempat belajar. Jangan terkungkung pada potensi yang itu-itu saja.
Kita sama-sama memiliki waktu 24 jam, maka manajemen waktu menentukan produktivitas. Mana kegiatan yang bahagia, mana yang tidak bahagia. “Yang bahagia diberi ruang yang panjang dan yang tidak bahagia dipersempit,” kata ibu tiga anak ini. Ketika ada masalah yang muncul, kita harus mengubahnya menjadi tantangan. Jadi empati diubah menjadi aksi dan menjadi sebuah solusi.
“Mendidik anak, menjemput rezeki dan berkarya itu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahan, apalagi dikorbankan. Karena pernikahan bukan pengorbanan, pernikahan itu adalah mencari kebahagiaan,” tutup bu Septi.
Materi di kelas persiapan ini, kembali memberikan suntikan semangat untukku. Komitmen dan konsisten menjadi kunci, apakah goal yang aku inginkan bisa tercapai atau tidak.