Pelajaran Manis

“Hei nyak, masih inget ini gak?” seorang teman mengirimkan pesan dan gambar melalui DM instagramku.

“Ya ampun, kangennya,” balasku.

“Pengin balik ya, ha-ha.” balasnya lagi

“Wkwkwkw.”

Gambar yang dikirimkan adalah kliping dari sebuah koran. Aku yang menulis artikelnya. Seketika aku kembali teringat pengalaman liputan beberapa tahun lalu.

Aku duduk manis di lobi sebuah hotel pinggir pantai. Ini liputan pertamaku di desk halaman perempuan. Sebelumnya, aku selalu bertemu dengan anak-anak sekolahan. Bertemu dengan perempuan-perempuan karier membuatku grogi.

“Riska ya?,” tanya seorang perempuan dengan ramah.

“Iya bu,” jawabku sambil mengulurkan tangan berkenalan.

“Ayo, kita tunggu di dalam saja. Acaranya masih setengah jam lagi. Kita ngobrol-ngobrol dulu sambil sarapan,” ajaknya ramah. Ternyata ini adalah bu Karine. Perempuan keturunan tionghoa ini sangat ramah. Sesuai dengan deskripsi dari redakturku.

Acara kali ini seputar dengan dunia baking. Bu Karine mengundang salah satu chef terkenal, Chef Ucu namanya. Karena ini liputan pertama dan aku tak ada janji selain hari ini, aku memutuskan untuk tinggal sampai acaranya selesai. Dan usai liputan, aku segera ke kantor dan mengetik berita yang kuliput tadi. Selesai.

Aku pikir, setelah kemarin tak ada lagi komunikasi antara aku dan Bu Karine. Ternyata tidak, bu Karine menelponku dan mengucapkan banyak terima kasih karena ia puas dengan foto-foto dan artikel yang kubuat.

Hubungan kampipun berjalan baik. Bu Karine juga sigap bekerja sama dengan kantor. Setiap acara yang diadakan Bu Karine, ia selalu meminta kehadiranku sebagai peliputnya. Tak ada event? Maka Bu Karine tetap akan memanggilku ke kantornya untuk ngobrol-ngobrol. Bahkan pernah suatu hari, Bu Karine sedang membuat camilan di kantornya, aku diajak untuk mencicipinya.

Saat aku memutuskan untuk resign, Bu Karine salah satu orang yang menyayangkannya. Tapi beliau tetap mendukung keputusanku. Meski jarang berkomunikasi setelah resign, Bu Karine tak perlu lupa denganku. Waktu pernikahan beliau datang bersama suaminya. Waktu aku menemani mbak Ika mencari mesin untuk usaha canenya, Bu Karine adalah orang pertama yang kucari.

“Kalau buat usaha yang produksinya banyak ini bisa dijadikan pilihan. Tapi kalau produksi setiap hari gak banyak ini saja,” kata Bu Karine saat itu. Bu Karine bukan sekadar penjual. Ia juga memberikan saran-saran sebagai seorang teman. Bahkan alat yang menurutnya kurang cocok, akan disampaikan kekurangannya. Aku beruntung  dipertemukan perempuan seperti Bu Karine. Dan akupun belajar, bagaimana menjalankan perkerjaan tapi berteman dengan sepenuh hati.

Tinggalkan komentar