Lihat dari Sudut yang Berbeda

“Kalau nanti menikah, kita tinggal di mana? Di rumah orangtuaku, atau orangtuamu?” itu adalah pertanyaan standar yang kulontarkan ke suami dan pacar-pacar sebelumnya. Jawaban yang aku harapkan adalah terserah kalau harus di rumah orangtuamu, tidak masalah. Entah kenapa, sejak remaja yang tersetting di otakku adalah harus merawat ibu dan bapak. Tanpa sadar sudah terekam menjadi sandwich generation. Mungkin. Tapi kondisi bapak yang sakit, kedua kakak yang sudah menikah dan tinggal terpisah, membuatku bertanya-tanya, siapakah nanti yang akan merawat kedua orangtuaku.

“Kalau sudah menikah, ya harus ikutin suami. Bapak gk bisa ikut campur lagi,” kata bapak bolak-balik kepadaku. Ibu dan bapak, sebenarnya sudah siap melepasku. Saat membangun rumah masa pensiun, hanya ada dua kamar yang disediakan. Kamar utama yang ditempati ibu dan bapak. Dan kamarku yang super mungil.

“Kenapa kok kecil? Kenapa gk bertingkat aja, biar kamar riska di atas gk apa-apa. Jadi agak luas,” pintaku saat itu. “Kamukan nanti kalau nikah ikut suamimu. Ngapain bikin lantai dua. Nanti siapa yang bersihin. Ibu sama bapak sudah tua, gak kuat naik turun tangga,” kata ibu yang di amini bapak. Pokoknya, ibu dan bapak tidak pernah berharap aku tinggal bersama menemani masa pensiun mereka.

Qadarullah, bapak sakit dan menghabiskan waktunya di tempat tidur. Sebagai anak tentu ini membuatku makin berat jika harus meninggalkan rumah. Permintaan menikah, sudah aku lontarkan sejak mengenal suami. Tapi ibu tampaknya saat itu masih belum siap. Sampai suatu hari bapak dan ibu memberikan lampu hijau.

“Masih bolehkan setelah menikah kita tinggal di rumah ibu-bapak. Bukan gak percaya, gk bisa memberikan tempat tinggal, tapi aku belum bisa jauh dari bapak kalau kondisinya begitu?”kataku pada suami yang saat itu masih berstatus pacar.

“Gak masalah kok. Kakak paham kenapa harus tinggal di rumah ibu bapak,” jawab suami.

Alhamdulillah, aku masih diberi kesempatan berbakti pada suami tanpa meninggalkan kedua orangtuaku. Akupun belajar. Meski aku dan suami masih berada dalam sandwich generation, kami bercita-cita untuk tidak meneruskannya ke anak-anak. Jujur saja, untuk ikhlas menjadi sandwich generation awalnya tidak mudah. Namun, setelah titik ikhlas itu muncul, semuanya jadi lebih lancar dan mudah. Kadang kalau dipikir pakai nalar, ya gak mungkin. Tapi Allah sudah mengatur semuanya sebaik mungkin. Aku harus terus belajar untuk ikhlas dan melihat semua hal dari sudut positif.  

Tinggalkan komentar