Pahami Kenapa Harus Demo

“Katanya di Jakarta demo besar-besaran ya?” tanya ibu sepulang sholat terawih.
“Oh ya?” aku balik bertanya.
“Iya, tadi bude Tuti cerita pas di mesjid,” tambah ibu.
Aku tak menanggapi lagi. Selain karena tidak tahu, aku juga tidak tertarik dengan politik. Cukup yang paham-paham sajalah yang bersuara.

Tak lama kemudian, aku melihat postingan IG sebuah media cetak yang menperlihatkan salah satu korban demo hari ini.

Kasihan. Karena tidak paham, tentu aku hanya bisa kasihan pada korban, tanpa tahu ceritanya. Kadang perasaan khawatir sering muncul. Bagaimana anak-anak saat dewasa nanti. Apakah ikut demo seperti itu juga. “Ya mau gimana? Papahnya juga dulu gitu,” tanggapan suami saat aku bertanya apa yang akan dilakukan jika anak-anak nantinya ikut demo saat kuliah. Tanggapan yang tidak kuharapkan, tapi tidak membuatku kaget. Saat kuliah, suami menjabat ketua BEM di universitas ibu kota provinsi. Jadi tidak kaget dengan aktivitas demo mendemo.

Aku sendiri punya kejadian unik seputar demo saat berkuliah dulu. Saat itu, seluruh mahasiswa di kampusku diharuskan mengikuti upacara bendera di lapangan Merdeka. Lapangan ini seperti alun-alun kota. Kami diwajibkan untuk naik kendaraan umum. Alasannya agar tidak kendaraan kami tidak menutup akses jalan.

Karena polos, kebanyakan mahasiswa tingkat pertama menuruti perintah itu. Tapi aku dan kedua temanku memilih tetap membawa kendaraan bermotor kami. Saat itu, kami berencana ke toko buku usai upacara bendera. Apalagi seluruh kegiatan belajar diliburkan.

“Jangan ada yang pulang ya. Habis ini, kita ada agenda lain. Yang pulang nanti dikasih nilai E,” kata kakak tingkatku waktu itu.

Karena takut tidak lulus kebanyakan temanku memilih tinggal. Aku dan kedu temanku yang percaya diri tak mungkin tidak lulus diam-diam pergi dari lapangan.

Keesokan harinya, semua temanku hebih bercerita. Ternyata mereka semua diajak demo ke gedung DPRD. Awalnya demo berjalan lancar. Tapi entah kenapa tiba-tiba menjadi ricuh. Mahasiswa yang paham akan tindakan yang mereka lakukan tentu saja sudah siap. Tapi teman-temanku yang tidak menjiwa sebagai penyampai aspirasi, tentu saja panik. Karena takut, mereka pun memilih kabur drngan angkutan umum.
“Yang cewek-cewek banyak nangis. Pada ketakutan. Tapi yang di sana, mereka tetap aja berani. Padahal ada yang dipukulin,” cerita temanku. Aku dan kedua temanku hanya bisa tertawa.

Mungkin nanti saat anak-anak dewasa, aku harus menceritakan kejadian yang dialami teman-temanku. Jika nanti mereka ikut menyuarakan suara mereka di depan orang banyak, mereka harus paham apa yang mereka suarakan dan konsekuensi yang akan didapat nanti.

Tinggalkan komentar