Selalu Ada Syukur di Setiap Cobaan

Fabiayyi alai rabbikuma tukathtiban

Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan.

Aku terhenyak saat mendengar potongan surah Ar-Rahman di TV. Ku hentikan pekerjaanku pagi itu. Aku memutuskan untuk mendengarkan surah Ar-Rahman yang sedang dibacakan oleh seorang Qori. Tak terasa air mataku menetes. Dadaku rasanya bergemuruh. Ya Allah, banyak sekali yang tidak kusyukuri selama ini. Ampuni hamba ya Allah. Dibalik semua cobaan ini, ternyata engkau masih memberikan banyak kebahagiaan dan keberkahan buat hambamu.

Setelah surah Ar-Rahman selesai dibacakan. Aku langsung menyeka air mataku. Segera kulanjutkan pekerjaanku. Tak boleh ada lagi keluh kesah. Aku harus bisa melakukan semuanya dengan ikhlas. Berhenti bekerja memang sudah kurencanakan. Tapi semua yang terjadi saat ini semua serba mendadak. Aku tak membayangkan seperti ini yang terjadi.

“De dipanggil bapak,” kata ibu. Hanya kepala ibu yang muncul dibalik pintu.

“Iya,” jawabku.

“Tolong angkat kaki bapak. Sakit betul,” kata bapak menunjuk kaki kirinya. Posisi bapak sedang terlentang. Patah tulang leher membuat bagian tubuh bapak di pinggang hingga ke bawah mati rasa. Setelah di operasi beberapa waktu lalu, barulah bapak mulai merasakan kakinya lagi. Namun, kakinya sesekali sering seperti menendang. Kata dokter karena sebelumnya syarafnya ada yang terjepit. Itulah penyebab bapak tanpa sadar seperti menendang. Ku angkat dan kuturunkan kaki bapak perlahan-lahan. Berulang kali. Sampai bapak minta berhenti sendiri. Ini sebenarnya seperti terapi. Terapis di rumah sakit yang mengajarkan kami.

“Ini juga menjaga supaya otot-otot kaki bapak tidak mengecil,” pesan si terapis. Semua kegiatan bapak dilakukan di tempat tidur. Aku dan ibu adalah perawat pribadi dadakan. Meski lebih banyak ibu yang bertugas. Ibaratnya ibu perawat utama dan aku asistennya.

Tiga bulan pertama jadwal kami berantakan. Tidur hanya 1-2 jam sehari sudah biasa. Tiga bulan berikutnya aku, ibu dan bapak mulai menyesuaikan diri. Kami mulai bisa menerima keadaan. Bahkan aku dan bapak sering mendengarkan murotal surah Ar-Rahman, ketika dirasa kondisi emosi kami mulai menurun. Ya ayat-ayat Al-qur’an lah yang menjadi penguat kami.

Kalau dipikir, pasti berat yang dihadapi bapak. Saat bisa ikhlas dan menerima, semua tak menjadi beban. Bapak dan ibu lagi-lagi mengajarkanku kesabaran, kesetiaan dan tanggung jawab. Bahwa menikah bukan hanya menjalani hidup bersama dan memiliki anak. Tapi juga semua peran suami dan istri di dalamnya. Ibu dan bapak mencontohkan langsung padaku, bahwa tidak semua masalah bisa selesai saat itu juga. Saling melengkapi, belajar dan tumbuh bersama hingga nanti, adalah pelajaran berarti.

Tinggalkan komentar