Pilihan Bekerja Sambil Kuliah

“Kenapa mau kerja? Bukannya sebaiknya dia menikmati waktu-waktu luangnya dulu. Kan baru lulus SMA. Nanti kalau sudah kuliah, pasti sibuk. Gak apa-apa kalau mau mikir cati kerja. Nanti kalau sudah kerja, kuliah malah gak bisa santai-santai lagi,” tanya suami padaku mengenai keinginan salah satu sepupu yang mencari pekerjaan.

“Ya dia mikirnya ngapain lagi di rumah. Gak dapat uang saku. Jadi mendingan cari kerja. Abi sih mikirnya juga kayak sayang. Tapi kalau umi, gak masalah. Malah bagus katanya. Biar anaknya tau gimana susahnya nyari uang,” jawabku.

“Bapak-bapak gitu ya memang. Beda sama ibu-ibu,” kata suami yang juga menyindirku, karena ikut membantu mencarikan lowongan pekerjaan.

“Ha-ha. Mode otomatis,” jawabku.

Aku kembali teringat beberapa tahun lalu. Saat memutuskan untuk bekerja sambil kuliah. Tak ada rencana matang. Saat itu aku hanya suka punya kesibukan lain, selain dunia kampus. Yang ternyata, dimanfaatkan kakak tingkatku yang sedang kesulitan mencari wartawan di bawah pengawasannya.

Tentu saja, saat itu bukan gaji yang jadi patokan utama. Tapi kesukaanku dalam menulis. Dan akh merasa seperti menjalankan peran baru. Sebagai riska lain.

Buat ibu dan bapak saat itu, keputusan bekerja sambil kuliah hanya dianggap ajang belajar. Bapak merasa sangat-sangat mampu memberikanku uang saku dan membayar sekolahku serta perintilannya. Maka, uang gaji benar-benar kunikmati untuk kepentinganku sendiri. Seperti membeli buku. Ho-ho.

“Bekerja dengan hati. Gk usah pikirin gaji,” pesan bapak saat itu. Maka aku banting tulang bagai kuda, dengan gaji yang sebenarnya tak seberap. Atas nama loyalitas yang lagi-lagi dimanfaatkan oknum. Kalau diingat sekarang sih, rasanya pengin toyor diri beberapa tahun lalu. Tapi aku tetap bisa mengambil banyak pelajaran dari loyalitasku saat itu.

Aku jadi lebih legowo memiliki suami yang bekerja di dunia yang pernah aku singgahi. “Istri wartawan itu, harus berjiwa besar. Kamu tau gimana rutinitas kerjanya,” kata pak Bambang, pimredku saat itu. Karena ditakut-takuti rutinitas kami yang tak menentun itulah, aku tak pernah sedikitpun melirik rekan-rekan seprofesiku saat itu. Lah, dihindari malah berjodoh. Ya begitulah hidup.

“Kala betah di sini,” tanyaku setelah sepupuku mulai bekerja beberapa minggu.

“Ya betah gk betah sih mi. Pekerjaannya memang santai. Tapi lumayan kalau harus ektra time, karena gak ada hitungan lemburnya. Cuma kala belum kepikiran, mau kerja di mana lagi,” jawabnya.

“Ya udah, sabar dulu. Kan kemarin mau kerja karena sambil nunggu kuliah kan. Nanti kalau sudah masuk kuliah, kita gk tau apa bisa berjalan beriringan antara kuliah dan kerjanya,” tambahku.

Entahlah, tampaknya di kotaku bekerja sambil kuliah adalah hal yang biasa. Dulu diangkatanku, hampir jarang ada mahasiswa yang murni kuliah tanpa bekerja. Meski sebagian memulai di tengah-tengah masa perkuliahannya. Berbeda dengan kota asal suami. Suami bercerita, malah kebanyakan mahasiswa di kotanya, fokus menikmati waktunya di kampus. Belajar dan berorganisasi. Kalaupun ada yang gak fokus, tidak ada yang sambil bekerja.

Mungkin karena pilihan kampus di kotaku, tak seperti di ibu kota propinsi. Atau mungkin juga, karena kotaku adalah kota pendatang. Maka anak mudanya beradaptasi dengan orang-orang yang menjadi saingan di dunia kerja nantinya. Yaaah, mode otomatis gitu. apa coba

Tinggalkan komentar