Mencari Ulasan Dokter (Bagian 1)

Mencari ulasan tentang suatu produk dan jasa itu sangat penting. Agar kita punya gambaran dalam mengambil keputusan. Cocok di beberapa orang, belum tentu cocok di orang lain kan.

Dulu, waktu masih memiliki satu anak, aku kerap mendengar teman-teman di komunitas yang mengatakan “Dokter ini oke lho. Jawabnya rinci. Tapi coba dulu aja. Siapa tau cocok. Soalnya temanku yang lain malah tidak sreg sama dokter anak langgananku.”

Saat menjadi wartawan, dalam satu minggu aku bisa mewawancarai beberapa dokter. Hingga suatu hari, seorang teman bertanya “Mbak, aku pengin konsul ke dokter anak. Ada rekomendasi.” Dokter anak yang pernah kutemui hanya 3 orang.

“Ada Dokter A, dokternya jelasin rinci. Tapi dokternya agak pendiam. Jadi kalau gak ditanya, gak terlalu ngomong. Terus aggak kurang senyum juga. Mungkin pas aku wawancara lagi capek ya. Atau bete sama aku, ha-ha. Ada juga dokter N, ini kesukannya semua temanku di komunitas. Orangnya ramah banget, Jelasin juga rinci. Nah, dua dokter ini ada di RS S, dan sama-sama konselor menyusui. Kalau di RS P, ada dokter B. Dokter senior banget. Kalau periksa bayi atau anak, ampuuuuun kayak eyang lagi ngemong cucunya. Aku suka sih, tapi pasiennya buaaanyaaaaaaaaak.NAh di RS P ada juga dokter B satu lagi. Tapi orangnya agak jutek. Janjian sama aku wawancara jam 1, aku datang 15 menit sebelumnya. Dia datang tepat jam praktek. Aku disuruh nunggu sampai selesai dong. Kalau jelasin sih rinci. Bagus. Sering diundang pembicara seminar sponsor. Jadi jangan kaget ya, kalau nanti disodorin sufor,” jelasku panjang lebar. Teman, kusuruh memilih sendiri di antara dokter-dokter yang aku rekomendasikan.

Beberapa hari kemudian, ia kembali menghubungi lewat chat. “Mbak, aku sudah ketemu dokter B yang satunya. Kenapa dia? Soalnya pas aku datang, cuma dia yang praktek. Ha-ha. Dokternya asyik kok mbak. Anakku diperiksa detail. KMS juga dicek. Tapi seperti yang mbak bilang, di akhir kunjungan aku disuruh tambahin sufor,” cerianya. Aku bertanya, apa ada indikasi medis, kenapa si dokter merekomendasikan sufor. “Aku tanya mbak. Katanya grafik pertumbuhan baik dan normal. Cuma ya gak masalah kalau ditambah susu. Gitu doang. Lah, berarti kan gak perlu banget ya,” kata temanku meminta dukungan.

Aku yang saat itu belum menikah dan punya anak pun hanya menjawab. “Kalau hasil pemeriksaan dokter bilang bagus dan sehat, alhamdulillah. Dan dokternya cuma bilang gak masalah kalau ditambah susu kan? Berarti kalau gak ditambah juga gak akan mengurangi nilai pemeriksaan kan?” tanyaku balik.

“Iya mbak. AKu yakin bisa ASI 2 tahun dan kasih makanan bergizi kok,” jawab temanku yakin.

Saat Cinta berusia 11 bulan, ia diagnosa demam berdarah. Saat itu, periksaan laboratorium kami lakukan melalui IGD RS propnsi daerah. Di mana, ada kakaku pertamaku yang bekerja di IGD tersebut. Karena harus rawat inap, maka kami ditanya apakah ada permintaan dokter anak yang menangani Cinta. Aku hampir tidak pernah menerima ulasan mengenai dokter anak di RS tersebut. Karena kebanyakan teman memilih RS lain. Nah, karena saat pertanyaan itu dilontarkan, kakak sedang tidak bersamaku, aku hanya menjawab terserah.

Begitu sampai di ruangan, kakak melihat berkasku. “Kenapa minta dokter D?” Tanya kakak.
“Aku tadi jawabnya terserah kak. Aku gak tau dokter siapa yang direkomendasikan,” jawabku.
“Dokternya bagus sih. Gak gampang kasih antibiotik ataupun obat-obatan lain. Cuma caa ngomongnga suka nyakitin hati. Nanti pas dia visit, kamu sabar-sabar aja ya,” kata kakakku.

Tidak lama kemudian, sahabatku yang bekerja di RS yang sama mengunjungi Cinta. Ia juga menanyakan hal yang serupa dengan kakakku. “Bagus kok. Tapi harus sabar. Jangan baper,” ingat sahabatku.

Eh, tidak lama kemudian si dokter melakukan kunjungan. Posisinya saat itu, aku sedang menyusui cinta sambil tiduran.

“Bu! Kalau nyusuin anaknya jangan sambil tidur. Bahaya. Nanti bisa masuk ke paru-paru. Jangan diualngi ya. kalau nyusuin harus posisi tegak seperti ini,” bentak si dokter sambil mencontohkan dengan tangannya. Aku kaget. Tapi karena sudah diingati untuk tidak baper, maka aku dan suami sudah siap.
“Bukannya sudah sering nyusuin sambil tiduran,” tanya suami setelah dokternya pergi.
“Iya. Lagian kan Cinta sudah mau setahun, posisi menyusui tidak lagi tenang seperti bayi. Lagi pula, posisi menyusui sambil tiduran ini ada di semua materi kelas menyusui lho, termasuk buku pink (KIA) yang dari pemerintah. Lagian apa gak pegel nyusuin sambil posisi berdiri gitu” jawabku.

Saat kunjungan setelah pulang dari rawat inap, dokter D sangat berubah. Ia ramah dan banyak tersenyum. Bahkan dia sempat mengajak Cinta bercanda. Mungkin suasana hati sedang baik. Atau bisa jadi karena saat itu, ada dokter lain yang sedang magang. Jadi harus menjaga citra. ups

Aku cukup lama menyimpan cerita soal dokter D. Suatu hari, saat pengurus FormASI Balikpapan rapat, Mak Yun yang konselor menyusui bercerita. Ia mendapatkan klien yang sedang memperbaiki pelekatan. Anaknya sedang ada gangguan kesehatan dengan paru-paru.

“Masa menyusui harus gini.” Kata mak yun sambio mencontohkan dengan boneka peraga.
“Dokter D ya mak?” Tanyaku.
“Kok tahu?” Tanya mak yun.
“Iya, waktu CInta sakit. Aku juga dibentak disuruh kayak gitu,” jawabku.
“Lah, gimana sih. Waktu kita pelatihan sambil tiduran kan salah satu posisi menyusui. Lagian kayak Cinta gini, udah besar anaknya. Palingan juga sudah mulai akrobat,” kata mak Yun.

Ternyata eh ternyata di grup diskusipun, bukan hanya 1-2 orang yang mengalami kejadian yang sama. Sebagian memilih mencari dokter lain ya g lebih ramah dan sreg. Sebagian lain, memilih tidak mengindahkan pernyataan dokter yang menyakiti hati. “Yang penting, pas pemeriksaan dia teliti deh,” kata teman yang lain.

Nah, sama seperti produk ya. Jasapun tidak semua orang cocok. Meski orang lain mengatakan bagus, belum tentu sama dengan kita.

Tinggalkan komentar