Pengalaman Mencari Sekolah

Saat ini para orangtua sedang disibukkan dengan mencari sekolah baru untuk anak-anaknya. Entah masuk SD, SMP, ataupun SMA. Berbeda dengan yang mencari kuliah ya. Kebanyakan sudah mandiri mencari kampus idamannya.

Tahun ini, 3 keponakan dan 1 sepupuku sedang mencari sekolah baru. Bila, keponakan terkecil akan masuk Sekolah Dasar. Tidak terlalu riweh, karena sejak lama ibu dan ayahnya sudah berniat memasukan ke salah satu sekolah swasta yang cukup favorit. Pendaftaran juga sudah dilakukan sejak Desember tahun lalu.

Berbeda dengan Nindy kakaknya. Tahun ini, Nindy harus mencari Sekolah Menengah Pertama. Saat SD, Nindy bersekolah di SD swasta, seperti adik-adiknya. Untuk SMP, ayah ibunya sudah mengingatkan untuk belajar lebih giat. Agar bisa masuk sekolah negeri.

Sekolah negeri, di keluargaku masih jadi pilihan utama. Selain biaya yang terjangkau, lokasi sekolah negeri juga tidak terlalu jauh.

Tapi seperti tahun lalu, sistem tahun ini masih menggunakan zona. Ada sih yang afirmasi, kepindahan orangtua dan prestasi. Orangtua nindy, berharap SMP yang mereka inginkan bisa ditembus Nindy. Sayangnya, saat pendaftaran, pilihan sekolah tersebut tidak muncul karena berbeda zona.

Orangtuanyapun galau. Aku dan ibu menyarankan, agar tetap memilih sekolah sesuai zona saja. Tidak apalah jauh sedikit. Tapi di hari ke empat pendaftaran, akhirnya ibunya Nindy memantapkan hatinya untuk mendaftar sesuai zona. Ternyata cukup banyak anak yang mendaftar di SMP pilihan pertama, dengan nilai yang tinggi. Nindy, bisa saja tergeser dengan cepat. Maka, sekolah lain di zona yang sama kembali jadi pilihan. Namun yang makin membuat gundah, jaraknya makin lama makin jauh. Sekolah SMP dan SMA di Balikpapan, memang masih kurang banyak. Bahkan di wilayahku sendiri, Balikpapan Barat, hanya ada 2 SMA Negeri, 2 SMP Negeri dan 2 SMP Swasta. Sangat sedikit sekali dengan yang dibutuhkan.

Berbeda dengan SMP, untuk memilih SMA, masih ada jalur reguler. Anak-anak masih bisa memilih sekolah yang diinginkan. Tapi tetap saja mereka harus bersaing dengan nilai teman-temannya yang lain.

Aku jadi ingat cerita saat mencari sekolah. Untuk Sekolah Dasar, sangat tidak repot. Karena jarak SD dengan rumah embah hanya 200 meter. Alhamdulillah sekolahnya masih ada hingga sekarang, sehingga aku tidak terlalu galau untuk sekolah SD anak-anak nanti.

Saat SMP, aku mendaftar sekolah ditemani Mbak Ika, yang saat itu masih kelas 2 SMA. Kok tidak diantar orangtua? Qadarullah, saat itu ibu dan bapak sedang di Jakarta. Bapak harus melakukan operasi di sana. “Daftar di SMP 4 saja. Sekolah negeri dan tidak jauh dari rumah. Jadi tidak repot,” pesan keduanya. Pendaftaran saat itu, memang berjalan mulus. Nilaiku yang masih sangat memuaskan, tentu aman saja mendaftar di sana. Jarak SMPku dan rumah embah kurang lebih 1,5 km. Sedang jarak SMP ke rumah, kurang lebih 5 km. Maka, setiap pulang sekolah aku akan ke rumah embah. Entah menunggu jemputan atau diantar paman. Niat yang tadinya tidak repot, sebenarnya malah repot ya. Ha-ha.

Nah, saat SMA ibu dan bapak sudah mempercayakan padaku sepenuhnya. Aku punya sahabat yang rumahnya, hanya dipisahkan lapangan basket. Maka saat pendaftaran kami lakukan berdua. Kami memilih SMA 2 sebagai pilihan. Salah satu SMA favorit. Saat itu, penerimaan siswa masih berdasarkan nilai. Jadi nilai yang rendah akan semakin tersingkir, jika ada nilai yang lebih tinggi. Di tahun ini, masih berlaku sekolah favorit. Karena penerimaanya berdasarkan nilai itu.

Ternyata, di hari kedua nilaiku sudah terlempar dari SMA 2. Yang aku pikirkan saat itu, adalah mencari sekolah yang tak ada satupun teman di SD atau SMP. Entah kenapa aku dulu ingin mencari lingkungan yang benar-benar asing. Maka, aku pilih SMA 6 yang berlokasi di KM 4,5. Aku hampir yakin tidak punya teman di sekolah ini. Padahal tidak jauh dari rumah, ada sekolah neegri baru. Alasanku tidak mau mendaftar di sana, karena pasti banyak teman-teman SMPku yang mendaftar di sekolah itu. Ha-ha.

Tapi ternyata, sahabat-sahabat Uut (sahabat yang juga tetanggaku) juga terlempar dari SMA 2 dan mendaftar di SMA 6. “Gak apa-apalah. Aku juga gak terlalu akrab kok sama mereka,” batinku. Melihat kebanyakan sahabatnya pindah ke SMA 6, Uut tidak mau ketinggalan. Memang sih nilainya di hari ketiga sudah bikin deg-degan karena di ujung batas. Tapi bapaknya meyakinkan bahwa Uut tetap bisa bersekolah di sana. Uut tidak mau. Ia memutuskan untuk ikut dengan semua sahabatnya.

Aku yang sudah bahagia tidak kenal siapa-siapa malah mendapati satu nama dari SMP yang sama. Namun, kami tidak pernah satu kelas dan bertegur sapa. Mungkin hanya beberapa kali pertemuan tidak sengaja di SMP. Jadi masih gak masalah.

Saat ajaran baru di mulai, aku malah mendapati temanku sejak TK. Aku dan dia melalui masa TK, SD, SMP sekelas (kecuali SMP kelas 3). Bahkan kami tinggal di kampung yang sama. Dan saat SMA dia ada di seolah yang sama, aku rasanya ingin marah. “Kok bisa? Aku gak liat namamu dipapan pengumuman?” Tanyaku. Ia hanya bertanya. Meski selama SMA kami tidak pernah 1 kelas, tapi kelas kami selalu bersebelahan.

Itu cerita kami dalam pencarian sekolah. Entah bagaimana cerita Cinta dan adik-adiknya nanti. Semoga dipermudah mendapatkan sekolah yang baik.

Tinggalkan komentar