Jangan pernah mengerjakan sesuatu tanpa hati yang bahagia. Kenapa? Karena yang kita lakukan pasti tidak akan maksimal. Beberapa bulan lalu, di RTku telah mengadakan pemilihan ketua RT. Kali ini, beberapa nama mengajukan diri menjadi ketua RT. Kebanyakan warga tentu tahu track record para calon ketua RT. Tapi aku tidak dan mungkin beberapa warga lain juga ada yang tidak tahu.
Aku jelas tidak mengenal, karena minim sosialisasi dengan lingkungan. Tapi ibu, tante dan pamanku sangat memahami. Cara pemilihannya, seperti tahun-tahun sebelumnya. Dipilih lewat pencoblosan langsung. Namun, satu kartu keluarga hanya boleh satu pemilih.
Setelah terpilih ketua RT yang baru segera melakukan pergerakan. Sayangnya, tidak semua warga mendukung. Ada saja yang tidak suka dengan terobosan-terobosan yang ada. Walaupun terobosan itu memberi perubahan yang baik. Ya, begitulah kalau memang tidak suka pada personalnya ya. Oh iya, sebenarnya kemenangan antar calon cukup tipis lho.
Beberapa saat setelah menjabat, ketua RT yang baru mengundangku ke rumahnya. Hanya saja, aku berhalangan dan tidak bisa hadir. Keesokan harinya, aku mendapatkan cerita dari pamanku yang hadir dalam undangan tersebut. “Namamu masuk sebagai ketua pemberdayaan wanita lho ris,”kata paman.
“Hah? Gak salah? Gak pernah ikut kegiatan RT terus tiba-tiba ditunjuk,” jawabku.
“Gak paham,” kata paman sambil berlalu pergi.
Akhirnya aku mendapat penjelasan dari Ketua RT kenapa namaku bisa ditulisakan dalam perangkat RT. “Cuma simbolis kok. Namamu diusulkan sama mbak Rina,” tambah bu RT. Ya, ketua RTku adalah seorang perempuan.
“Bu, maaf ya. Sebaiknya dicari yang lain saja. Saya tidak bisa aktif berkegiatan di luar. Lagi pula, anak-anak belum bisa ditinggal,” alasanku.
“Sudah sambil jalan saja. Nanti tetap didampingi kok,” tambahnya.
Aku juga menyuarakan ke mbak Rina, salah satu perangkat RT yang sudah berpengalaman bertahun-tahun di RTku. “Sudah santai aja,” jawabnya. Tak ada satupun yang mengizinkanku mundur.
Akupun berusaha untuk tetap profesional dalam menjalankan peran. Meski dalam perjalanannya, aku memang tidak bisa fokus karena selalu membawa anak-anak dalam memenuhi undangan dari puskesmas. Berbeda dengan banyak komunitas yang aku ikuti, semuanya selalu mendukung dan ramah pada anak-anak yang dibawa. Tentu saja ini membuat hatiku galau. Sejak menikah, aku sudah berniat untuk melibatkan dalam semua agendaku. Jadi, kalau tidak ramah dengan anak, tentu aku makin tak tenang.
Dan aku semakin menyikapi dengan santai tanpa beban, karena ternyata aku tidak pernah dilibatkan pada keputusan apapun yang berhubungan dengan “kewajibanku” sebagai kepala pemberdayaan perempuan. Meski sedikit kecewa, aku juga bersyukur. Karena artinya jawaban itu hanya formalitas belaka.
“Padahal Riska kalau diberi kepercayaan sepenuhnya, pasti total,” kata ibu ke tanteku.
“Yang sodorin nama Riska memang aku, karena dulu riska memang mau terlibat kan. Cuma kaget juga kalau ternyata Riska sering tidak tahu ada keputusan apa-apa,” kata tanteku. Percakapan tak sengaja mereka membuatku tertawa. “Dulu memang mi, semangat mau edukasi. Tapi memang gak mudah. Orang pas posyandu, habis timbang langsung pulang. Gak bisa disalahin, ibu-ibu lain pasti punya kesibukan. Datang ke posyandu, kalau gak seru, ya gitu aja,” jawabku.
Karena sebenarnya seperti ibu-ibu lain, aku juga tidak mau lama-lama berkumpul. Ha-ha.