Cinta Karena Biasa

Ketika hati sudah tidak merasa nyaman, apakah masih tetap mencintai? Ah, ini terlalu mendayu-dayu dan sedikit berlebihan ya. Apalagi kecintaan pada pekerjaan domestik tidak ada yang sama.

Dari sekian banyak ibu rumah tangga, menyetrika mungkin pekerjaan yang paling sedikit disukai. Namun, aku salah satu dari segelintir orang yang ternyata menyukai pekerjaan ini. Awalnya bisa jadi dipaksa. Karena aku ingat benar, aku mulai menyetrika pertama kali saat aku kelas 1 SMP. Saat itu, aku beru saja mentruasi. Yang artinya beberapa tugas rumah harus bisa kukerjakan sendiri. Selain mencuci, tentu saja menyetrika. Biasanya pekerjaan ini memang saling melengkapi.

Meski suami kerap bertanya “apakah perlu mendelegasikan tugas menyetrika ini?”. Tujuannya biar aku bisa lebih santai. Aku tak menampik, jika merasa kewalahan aku akan melimpahkannya ke laundry. Tapi, karena kerap kecewa dengan hasilnya aku lebih sering menolak. Aku mengiyakan hanya saat benar-benar tidak bisa menyelesaikannya. Itupun masih dipilih lagi. Mana yang dilimpahkan.

Jika kebanyakan anak hanya diberika tugas mencuci dan menyetrika bajunya sendiri, tidak denganku di rumah. Aku wajib mencuci dan menyetrika baju ibu dan bapak. Kenapa? Tidak ada alasan khusus, ya sekalian saja. Apalagi dulu, saat mbakku masih tinggal bersama kami, ialah yang melakukannya. Meski sebenarnya tugas mencuci lebih banyak dikerjakan ibu, saat kami berada di sekolah.

Dulu, aku seperti kebanyakan orang tidak suka menyetrika. Selain panas, pekerjaan ini membutuhkan waktu diam yang cukup lama. Hingga suatu hari, tetangga kami yang memiliki pembantu khusus untuk mencuci dan strika bercerita kalau ia diminta si mbak untuk membeli sebuah strika. Merk tertentu, dengan harga yang sedikit lebih mahal dari pada strika yang biasa kami temui dipasaran, dan watt yang juga lebih besar. Si mbak berkata, bahwa ia menyetrika di rumah seseorang dengan strika merk itu. Pekerjaannya jadi lebih cepat selesai, karena strikaannya berat dan cepat panas.

Untuk mempermudah pekerjaanku, ibukupun membelikan strikaan yang sama. Untuk anak SMP, tentu saja ini sangat melelahkan. Karena strikaannya sangat berat. Mungkin bebannya sekitar 2 kilogram. Sejak aku SMP, ibu baru dua kali membeli strikaan dengan merek yang sama. Cukup awet kan.

Aku yang awalnya tidak suka, eh malah lebih nyaman dengan strikaan ini. Sayangnya aku dan ibu lupa nama merek strikaan ini. Karena saking lamanya, tidak terlihat lagi logo dari si strikaan. Nah, untuk menunjang pekerjaanku ini aku juga melakukan beberapa hal. Biar aku makin menyukai strika baju.

– Pastikan sudah beristirahat. Karena waktu menyetrikabaju tidak sebentar, biasanya aku memilih untuk tidur sebentar kurang lebih 30 menit.

– Bergerak setiap 30 menit sekali. Entah untuk minum ataupun nyemil.

– Mempersiapkan diri dengan pakaian yang nyaman, rapi dan wangi. Namanya juga bekerja, jadi tetap harus mempersiapkan diri ya.

– Menyiapkan diri dengan mencatatnya di jurnal. Hampir jarang aku menyetrika baju tanpa rencana yang matang. Karena, begitu sudah mulai menyetrika aku enggan untuk berhenti sebelum tuntas.

Nah, belum lama ini strikaan favoritku itu rusak. Mau tidak mau, aku harus menggunakan strikaan cadangan yang super duper ringan. Pekerjaan yang biasa kuselesaikan dalam waktu 2-3 jam, kali ini harus molor lebih lama lagi. Aku pikir, tadinya aku akan mengerjakannya sambil kesal.

Tapi ternyata, karena bertahun-tahun sudah mencintai pekerjaan ini, aku malah biasa saja. Tidak merasa kesal sama sekali. Mungkin ini yang dinamakan cinta karena terbiasa. Ha-ha.

Satu komentar pada “Cinta Karena Biasa”

Tinggalkan komentar