Tunai atau Non Tunai

Saat ini, kita tentu sudah dipermudah dengan penggunaan uang non tunai. Berbagai macam pembayaran menggunakan uang non tunai, bisa kita pilih. Mana yang mempermudah pasti akan kita pilih. Di pasar dekat rumah contohnya, ada satu toko buah yang cukup besar memberikan kemudahan pembayaran untuk pelanggannya. Bisa melalui mesin EDC, Qris ataupun transfer. Aku sudah pernah menggunakan ketiganya. Untuk harga buah-buahan cukup bersaing kok dengan toko yang lain. Sehingga tidak membuatku merasa keberatan. Lagi pula, biasanya membeli buah ada di urutan terakhir. Karena tokoknya dilalui saat pulang dan pergi menuju pasar sayur-mayur. Alasan lainnya tentu karena pilihan  pembayaran itu. Uang cash biasanya pas untuk belanja sayur mayur beserta lauknya. Di pasar juga belum kutemukan pembayaran non tunai. Sehingga saat uang cash sudah tidak tersedia, tapi masih mau membeli buah, maka membeli di toko buah dengan pembayaran non tunai adalah jalan ninjaku. Bahkan untuk membayar daftar ulang sekolah saja, aku memilih membayar dengan uang non tunai. Rasanya janggal sekali, kalau dompet yang tiba-tiba sesak dengan uang kertas, harus tipis seketika. Ha-ha.  

Selain pasar tradisional, pembayaran non tunai jauh lebih mudah ditemukan. Tapi ternyata tidak semua kemudahan itu bisa kudapatkan di tempat-tempat yang seharusnya. Rumah sakit misalnya. Untuk BPJSku pilihan faskes tingkat pertamanya adalah puskesmas. Sedangkan milik suami, Cinta dan Rangga berada di sebuah klinik. Di klinik ini kita bisa menggunakan metode pembayaran non tunai. Lega kan. Karena saat membayar tagihan kesehatan, kita tidak pernah benar-benar tahu berapa yang harus dikeluarkan.

Aku juga pernah menggunakan BPJS di RS tipe A di kotaku. Namun, karena masuk lewat IGD dan menggunakan BPJS, aku tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun. Eh, kecuali parkirannya sih. Yang dilakukan di IGD antara lain pemeriksaan dokter, cek darah di laboratorium, dan penebusan obat penurun panas. Ini beneran tidak ada pembayaran apa-apa lho. Bukan karena ada kakakku yang sedang bertugas di IGD, hehe.

Nah, hari ini aku mengajak Cinta berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di salah satu Rumah Sakit. Alasan pertama memilih dokter ini, karena jam prakteknya yang tersedia di pagi hingga siang hari. Alasan berikutnya testimoni beberapa pasien yang cukup baik. Dengan penuh percaya diri, aku hanya membawa uang sebesar Rp 250.000 di dompetku. Kenapa percaya diri? Karena aku menganggap rumah sakit pasti akan menyediakan pembayaran non tunai, seperti di faskes 1 suami dan anak-anak.

Karena baru pertama kali datang ke dokter ini, akupun harus mengisi beberapa berkas pendaftaran dan melakukan pembayaran. Duh, sudah deg-degan ini. Semoga biaya pendaftarannya murah. Alhamdulillah, aku hanya membayar Rp 25.000,- untuk pendaftaran. Begitu menuju ruang praktik dokter, aku sudah menduga akan membayar dengan uang tunai lagi. He-he. Biayanya sih masih sama seperti dokter-dokter spesialis lainnya.

Nah, yang membuat mendadak pening adalah saat aku harus menebus obat di apotek RS tersebut. Lah, uangnya kan sudah habis untuk membayar pendaftaran dan dokter tadi. “Pak, ATM di sebelah mana ya?” tanyaku pada sekuriti yang sedang bertugas. “Oh, di sana bu. Di ujung parkiran mobil,” jawabnya.

Oke! Lumayan jauh jaraknya. Bukan aku tidak mau ke ATM, tapi ini akan sangat melelahkan karena di posisi masih menunggu panggilan obat (yang belum tahu jumlah pembayarannya) dan Rangga yang mulai rewel. Berjalan kaki dengan cepat membuat gerakan bayi yang sudah masuk di dasar panggul akan sangat terasa. Bukan sakit! Cuma takut kalau tiba-tiba harus melahirkan di RS ini. Ha-ha.

Untunglah nenek yang kali ini menemaniku mengisi dompetnya cukup. Jadilah, untuk sementara nenek menjadi dana daruratku. Dan seperti dugaanku, aku harus kembali membayar di bank tempatku membayar pendaftaran tadi. Tidak ada mesin pembayaran non tunai. Agak membingungkan sebenarnya, karena ini adalah salah satu bank yang ditempatkan di rumah sakit. Bagaimana bisa mereka tidak memiliki mesin EDC untuk pembayaran secara debit? Ataukah mesin EDC digunakan untuk pembayaran menggunakan kartu kredit. Karena saat pendaftaran hanya ada dua pilihan membayar tunai atau kartu kredit. Tapikan tidak semua orang punya dan menggunakan kartu kredit.

Jadi menurutmu, apakah tidak aneh jika pembayaran dengan debit sulit ditemui di tempat sepenting rumah sakit?

Tinggalkan komentar