Siapa yang kalau ke suatu daerah tidak dikenal mengandalkan GPS? Yuk kita gandengan tangan. Ha-ha. Meski sudah 6 tahun menikah dengan laki-laki kelahiran kota tetangga, aku sampai sekarang tidak pernah hafal jalannya. Bahkan untuk menuju rumah mama mertua, aku harus menggunakan Google Maps. Padahal nih, sebelum menikah 4 tahun aku bekerja juga sering bolak balik ke kota tepian. Mungkin dalam sebulan aku pasti ada ke Samarinda selama seminggu. Harusnya aku sudah mulai hafal ya.
Dulu di tahun 2012, waktu sinyal internet masih kembang kempis aku, mbak Ika dan suaminya harus mengunjungi paman di kota Sangatta. Kami diharuskan melewati kota Samarinda dulu. “Pokoknya, kalau sudah keluar Samarinda, arah Bontang dan Sangatta itu tidak susah,” kata Kak Hendra, kakak iparku.
Sayangnya, untuk keluar dari kota Samarinda saja kami membutuhkan waktu yang sangat lama. Padahal selain mengandalkan GPS, kami juga mengikuti papan petunjuk jalan. Sayangnya, papan petunjuk jalannya tidak bisa diandalkan. Gak cuma di Samarinda sih, di Balikpapan juga begitu.
Benar saja, setelah berhasil keluar kota Samarinda dan berada di jalan poros Samarinda – Bontang, kami lebih mudah menikmati perjalanan. Karena memang hanya satu jalan saja yang tersedia.
Saat bekerja dulu, tentu saja aku banyak mengandalkan teman-teman sekantor di Samarinda. Pokoknya mau kemanapun tujuannya, tinggal sebut saja.
Nah setelah menikah, tentu saja aku tidak banyak berkeliaran seperti dulu. Mau kemana-mana ya di antar suami. Kalaupun harus aku yang membawa kendaraan, pasti GPS tidak akan kulupakan.
Bulan kemarin misalnya, kami menginap di hotel seputaran tepian Mahakam. Untuk menuju rumah mama mertua, membutuhkan waktu 45 menit – 1 jam. Saat menuju ke sana, aku diarahkan lewat jalan lain, tidak seperti sebelumnya saat suami mengantar.
“Lho dek, perasaan kemarin lewat sana,” kata ibuku.
“Iya mah, kemarin lewat sana.Tapi ini diarahkan GPS lewat sini. Ikutin aja ya, dari pada nyasar,” jawabku.
Jalan yang diarahkan sebenarnya tidak asing. Aku sudah pernah melewatinya bersama suami. Hanya saja bukan pilihan utama. Namun, siapa sangka, perjalananku ternyata memakan waktu lebih lama. Bukan karena menyasar, tapi karena ada perbaikan jalan dan antrean BBM yang ikut membuat jalan bertambah macet.
“Kok lama kak? “ tanya adik iparku saat aku sampai di rumah mama mertua.
“Itu, tadi dilewatkan GPS di warung pecel Family,” jawabku menyebutkan nama warung makan, karena tidak tahu nama jalannya.
“Ohh, di situ lagi perbaikan jalan. Makanya macet banget. Kalau gak macet, jalan itu memang yang paling cepat,” jawab adik iparku.
“Berarti bukan salah GPSnya ya,” aku coba membela diri. Suamiku yang mendengar hanya geleng-geleng kepala.
Meski tidak selalu percaya pada google maps, suamiku juga rajin mengecek arah jalan melalui maps. Apalagi kata adik iparku, setelah suami pindah domisili KTP, kota kelahirannya banyak yang berubah.
“Gak Cuma jalan kak. Rumah makan dan toko-toko yang sering kakak datangin dulu sudah banyak yang pindah atau tutup,” kata adik iparku kepada kakaknya.
Suamiku, ternyata masih sering tidak menyadari kalau ia sudah sangat lama pindah dari kota kelahirannya. Apalagi sekarang kota-kota sudah semakin berkembang. Ada banyak yang berubah. Dari tata kotanya hingga warganya. Namun, ada yang satu hal yang masih kami sepakati, warga kota Samarinda dan sekitarnya masih suka liburan ke kota Balikpapan.
Entah hanya berjalan-jalan di Mal atau mengunjungi pantai di Balikpapan yang jumlahnya banyak.