Birthstory Bunga : Bahagia yang Tak Diduga

Bunga yang selama 9 tahun ini menjadi ungkapan cinta antara dua insan. Bunga yang menjadi tanda kasih sayang. Bunga adalah pelengkap keluarga kecilku. Setelah cerita Cinta dan Rangga, kali ini Bunga mengawali kisahnya dengan bahagia.

***

15 November 2022

“Ini sudah minggu ke 36 mau ke 37 ya. Berat bayi sudah ada di 3 kilo. Semoga adik bayi memilih waktu lahir di 38 minggu. Biar dia gak semakin besar,” kata dr Teddy. Mendengar itu, aku tidak segera mengaminkan. Mengingat Cinta lahir di usia kehamilan 40 minggu dan Rangga di usia kehamilan 42 minggu, aku merasa tidak yakin kalau yang ketiga akan lebih cepat. Tapi, kakakku yang juga seorang bidan pernah berkata, peluang anak ketiga lahir lebih cepat sangat mungkin terjadi. Aku harus bersiap lebih awal dari yang sebelumnya. 

Keluar dari ruang periksa dokter, ternyata ada wajah yang gelisah. Aku tidak langsung bertanya. Diperjalanan pulang, barulah aku bertanya apa yang membuat raut wajah suamiku tegang.

“Anak-anak tgl 21-26 (red : reporter) ini dikirim pewarnas. Kakak gak bisa cuti,” kata suami gelisah. Aku tertawa. Tidak. Aku tidak sedih atau kesal. Sebagai alumni wartawan di media yang sama, aku paham benar bagaimana ritme kerja suami. Malah terkadang aku penasaran, bagaimana  sabarnya istri-istri rekan wartawan lain yang bukan berasal dari dunia jurnalistik sepertiku. Apakah bisa enjoy atau sering misuh-misuh?

“Gak cuma itu, ini ada undangan untuk pelatihan di Banyuwangi untuk para pemimpin redaksi. Kakak sudah bilang di tanggal itu ada pewarnas, jelas gk bisa hadir. Kalau boleh diwakilin, kakak bakal kirim yang lain buat menggantikan. Setidaknya, kakak gak perlu keluar kota di akhir-akhir kehamilan ini,” tambah suami. 

Suami tidak ingin melewatkan moment persalinan lagi, seperti di persalinan kedua, ia tidak bisa mendampingiku. Saat itu, ia sedang berada di luar kota. Meski jaraknya hanya 2 jam perjalanan dari kota minyak, tapi ia sedih karena tidak bisa menemani seperti saat persalinan pertama. 

“Semua acara itu masih November kan?” Aku balik bertanya. Suami mengiyakan. “Ya gak apa-apa. 38 minggu baru di akhir bulan november kok. Insya Allah adek bayi belum lahir,” kataku.

“Tapi gimana kalau pas berangkat lahir?” Tanyanya lagi. “Ya kalau bisa jangan. Malah kurang bulan kan? Jadi beresiko,” kataku. 

“Baby, nanti lahirnya tunggu papah pulang dari Banyuwangi aja ya,” kataku sambil mengelus perut. Wajah suami masih tidak berubah. Galau, gundah dan gulana.

****

20 November 2022 

“Bener nih gak apa-apa ditinggal?” tanya suami sesaat sebelum berangkat ke bandara. 

“Iya, gak apa-apa. Masih kontraksi palsu kok. Baby insya Allah menunggu papahnya pulang dari Banyuwangi,” kataku meyakinkan.

Selama berada di Banyuwangi, suami tak pernah berhenti menanyakan kabar perkembangan yang kurasakan. Meski belakangan ini aku sudah mulai tidak nyenyak tidur. Bergerak dalam posisi berbaring pun rasanya susah sekali. Belum lagi, tulang ekor terasa lebih nyeri. Saat mengendarai motor, semakin aduhai rasanya. Mungkin aku harus yoga lebih sering dari biasanya.  

“Hari jumat apa agendanya,” tanya suam via chat.. 

“Rencana mau ajak anak-anak jalan dan jemput ke bandara sih. Tapi jalan-jalannya bisa aja pas sebelum jemput atau sesudah jemput,” jawabku. 

“Gak yoga?” tanya suami. 

“Ya kan mesti jemput. Mau gk mau bolos dulu,” kataku.

“Dilihat nanti deh. Mana tau jumat malah gk bisa jemput,” kata suami. 

“Lho, emang gk bisa jemput kenapa?” Aku bingung. 

“Papahnya turun pesawat langsung ke GBS, haha,” jawab suami.

Menjelang kedatangan suami dari banyuwangi. Aku merasa deg-degan. Terasa bahagia tapi juga cemas. Perasaan cemas yang selalu menghantui di saat-saat aku akan melahirkan. Bagaimanakah proses persalinanmu nanti?

Apa sebentar lagi tiba saatnya? tanyaku dalam hati. “Ah, tidak mungkin masih 38 minggu,” batinku menolak. Gelombang cinta yang palsu sudah kerap muncul. Aku mencoba mengingat-ingat bagaimana rasanya. Karena aku merasa biasa saja, aku tidak menganggapnya berarti. “Kalau tidak salah ingat, waktu gelombang cinta yang sesungguhnya hadir aku tidak bisa berhenti bergerak. Jadi sekarang bukan saatnya,” pesan hatiku.  

3 Desember 2022 

Akhir pekan ini kami sudah berencana akan piknik ke pantai. Suami yang kemarin baru pulang dari luar kota, pagi ini sudah diminta untuk mengisi kegiatan di pantai Lamaru. Ada perasaan yang berbeda kali ini. Mungkin karena perasaan rindu yang menggebu. Aku tampak bersemangat menemani suami dan mengajak anak-anak ke pantai. Tujuan kami kali ini adalah pantai Lamaru.

Meski sejak kecil sering diajak ke pantai, pantai bukan tempat yang aku cari untuk refreshing. Kenapa? Karena cuaca yang panas. Ha-ha. Tapi pantai adalah tempat kesukaan suami dan anak-anak. Jika biasanya aku memilih untuk berteduh, kali ini aku malah menemani anak-anak bermain pasir. Bukan karena suami sedang mengisi materi. Ada perasaan lain yang mendorongku untuk menikmati pasir dan suara ombak. 

“Mama, ayo kita bikin danau,” kata Rangga. Aku yang sejak awal berdiri mau tidak mau duduk di atas pasir. Namun, rasa hangat di pasir menjalar dari bokong menuju perutku. Ada perasaan nyaman yang muncul. Tapi di saat bersamaan aku tersentak. Gelombang cinta kembali muncul. Kali ini ada perasaan lain. Sakit? Bukan! Bukan rasa sakit. Tapi ada perasaan yang membuatku yakin sebentar lagi tiba waktunya. Aku beruntung karena Cinta dan Rangga tidak hanya mengajakku duduk, tapi juga berjalan bolak-balik di pantai. 

Usai mengisi materi, seorang wanita menghampiriku. Beliau adalah salah satu pengundang suamiku di kegiatan hari ini. 

“Sudah berapa bulan?” tanyanya. 

“Tinggal menunggu saja bu,” jawabku sambil menjabat tangannya. Di kehamilan pertama dan kedua aku selalu menyebutkan hari perkiraan lahir. Tapi tidak kali ini. Tampaknya aku sendiri tidak yakin apakah akan sampai di hari perkiraan lahir.

Puas bermain pasir anak-anak mengajakku mengendarai golf car yang bisa disewa pengunjung. Alhamdulillah, suami sudah selesai kegiatan. Maka, aku jadi lebih santai menikmati gelombang cinta. Selama 30 menit mengelilingi pantai, aku juga ditemani gelombang cinta yang sebentar-sebentar datang. 

Sebelum pulang ke rumah, suami mengajakku dan anak-anak untuk makan di luar. Aku mengiyakan, meski sebenarnya ingin segera sampai di rumah. Ingin masuk ke kamar dan menikmati waktu seorang diri. Entahlah, aku sendiri bingung kenapa ingin sendiri. 

Sesampainya di rumah, gelombang cinta makin terasa. Aku sudah melihat ada lendir darah yag keluar saat buang air kecil. 

“Nek, packing sudah. Nanti buru-buru lho,” kataku saat keluar dari kamar mandi. 

“Sudah mau melahirkan?” tanya ibuku agak terkejut. 

“Belum sih. Sudah ada darah tadi. Ya kalau ngikutin Cinta dua hari lagi baru lahir. Kalau ngikutin Rangga nanti malam. Jadi dari pada buru-buru, siapin aja semua,” jawabku. Tas bersalin dan perlengkapan anak-anak serta suami sudah siap di koper. Jika sudah tiba waktunya aku hanya perlu menggeret barang-barang itu. 

Saat pukul 5 sore, gelombang cinta makin terasa. Aku meminta suami untuk memijat pinggang dan punggungku. “Kita ulang lagi kayak Cinta dulu,” kataku pada suami. Tapi aku bukannya merasa nyaman. “Kayaknya ada sayang jadi manja deh,” kataku pada suami. 

“Ya udah, kakak ke kantor dulu ya. Biar cepat selesai kerjaan, cepat pulang,” kata suami. Aku mengiyakan. Sambil mengantar suami ke pintu aku juga memberikan pesan pada Cinta dan sepupu-sepunya. “Gaes, mama butuh waktu untuk sendiri. Please jangan ada yang masuk ke kamar ya,” kataku tegas. “Perut mama sedang muncul perasaan tidak nyaman. Jadi tidak mau diganggu dan tidak mau ada suara berisik. Ok!”

Meski masih bermain di rumah, untung saja anak-anak cukup koperatif. Cinta sesekali menanyakan keadaanku. Hanya Rangga yang tidak mau berpisah sama sekali. Sesekali ia keluar kamar dan kembali menemaniku menikmati gelombang cinta. 

Aku terus mencari posisi yang nyaman. Jalan bolak balik di kamar, nungging, squat, tidur menghadap kiri, dan tidur sambil memeluk gymball. Jika satu posisi membuatku nyaman saat gelombang cinta hadir, maka posisi itu tidak bisa kugunakan lagi di gelmbang cinta berikutnya. Setiap gelombang cinta, aku harus terus mengganti posisiku. Sambil menikmati gelombang cinta, aku tidak berhenti meneror suami yang sedang bekerja. Apapun yang kurasakan selalu kusampaikan. 

Saat melihat hasil dari aplikasi, aku cukup terkejut.  

Segera ke rumah sakit. Terutama jika ini bukan persalinan pertama Anda. 

Aku yang membacanya ingin tertawa. Bagaimana bisa aku disuruh ke RS padahal gelombang cinta yang muncul masih biasa saja buatku. Gak mungkin. Kataku sok tahu. 

Suami yang kuberitahu, menyarankan untuk segera berkonsultasi dengan mbak Neny. Tapi aku ragu. Apalagi mbak Neny sedang pelatihan di villa lembayung. Belum tentu bisa segera meresponku. Akupun memutuskan untuk menghubungi bidan GBS yang lain, bidan Marcel. Kukirimkan tangkapan layar dari hasil gelombang cinta. 

“Mbak, itu sudah 3x dalam sepuluh menit. Teratur lagi. Ke sini aja,” saran Marcel.

“Tapi cel, masih gini doang. Belum deh kayaknya,” kataku ngeyel. 

Aku yakin belum waktunya karena saat Rangga, aku menuju GBS saat gelombang Cinta sudah lebih dari 3 menit.

“Gak apa-apa ikutin feelingnya mbak. Tapi kalau mau ke GBS sekarang, juga gak apa-apa. Aku sudah kasih tau Ayu dan mbak Yunita,” kata Marcel. 

Aku memutuskan untuk menunggu dulu. Kenapa masih menunggu? Karena aku ingin seperti saat bersalin Rangga. Sampai di GBS, tidak lama melahirkan. Karena kalau sudah sampai GBS pasti aku akan lebih menanti-nanti. .  

“Ya Allah, semoga bisa kembali berjodoh dengan GBS, sampai GBS sudah bukaan lengkap, bayi lahir cepat, sehat, minim trauma, bisa menangkap bayinya sendiri, perenium utuh, selaput ketuban utuh,” aku kembali mengulang doa-doa yang selalu kuucapkan saat sholat. 

Sampai menjelang Isya aku merasa tidak tahan. Rasanya sudah ada yang ingin keluar.

“Kayaknya harus pulang,” pesanku ke suami melalui chat. Masih lewat chat? Yups. Selain aku memang lebih nyaman berkomunikasi lewat chat, aku juga tidak merasa harus buru-buru menelpon suami. 

Begitu membaca chatku, suamipun segera pulang. Namun aku harus terus bersabar karena jarak rumah dan kantorpun membutuhkan waktu 15 menit. 

Saat suami tiba, ia  langsung memasukkan tas dan koper. Kami berangkat. Sesampainya di depan kawasan Grand CIty. Keinginan untuk mengejan muncul. Tapi aku masih terus berusaha menahannya. Sepanjang perjalanan, aku memilih menutup mataku. Selain lebih nyaman, aku juga tidak perlu panik melihat kendaraan di depanku. Gelombang cinta masih setia di menit ke 1 menit lebih sedikit dengan jeda 2 menit 30 detik.

Saat di lampu merah kawasan dome, aku tertidur. Dan terbangun ketika gelombang cinta muncul. Aku sudah merasa bahwa sebentar lagi akan tiba waktunya. Karena dipersalinan Cinta dan Rangg aku selalu ketiduran sesaat. Singkat, tapi nyenyak sehingga memberiku tenaga tambahan. Ya emang pelor juga sih! Keinginan mengejan kembali muncul. Kali ini jedanya agak lama, sekitar 4 menit. Akupun kembali mengabari marcel, bahwa aku sudah lewat kawasan dome. 

Melewati di jembatan sepinggan, aku teringat kenangan bersalin Rangga. Dan saat di depan AURI, aku tidak bisa menahan tekanan mengejan. “Air ketubannya pecah,” teriakku. 

Aku pun reflek membuka celanaku. Reflek mengejan kembali hadir aku mencoba menahan. “Sabar ya baby, bentar lagi kita sampai kok di GBS,” kataku sambil menepuk-nepuk jalan lahirnya. “Sabar ya,” kataku lagi.

Baru selesai mengatakannya aku merasakan dorongan, seketika aku jongkok di kursi. “Lho de, kenapa gitu posisinya,” kata suami.

“Gak nyaman kalau duduk. Kayak keganjel. Penginnya gini,” jawabku.

Setelah menjawab itu, tiba-tiba aku merasakan kepala bayi dan seketika lahirlah si bayi. Aku langsung menangkapnya. Dan pecahlah tangisan dari si bayi mungil. Aku langsung mendekap bayi ke dadaku dan menyelimutinya dengan jilbab yang kugunakan.  

Panik? Aku sih gk! Lega malah. Tapi ibu dan suami yang panik. “Ini gimanaaaaa?” tanya mereka kompak. “Udah langsung aja ke GBS kan gk terlalu jauh lagi,” jawabku. 

“Mama gak apa-apa?” tanya Cinta. 

“Gak apa-apa kak. Maaf ya, belum bisa lihat baby dulu. Nanti kalau sudah sampai aja,” kataku. Cinta yang selalu hadir di setiap persalinan adik-adiknya. Rangga yang tadinya bersemangat, sudah tidur lelap di pangkuan neneknya. Ibuku menangis. Bingung bercampur bahagia. 

Suami menambahkan kecepatannya. Kondisi jalanan sebenarnya tidak macet, namun cukup banyak kendaraan yang lewat. Ditambah lagi, tidak ada ruang di jalan untuk membalap kendaraan di depan. Begitu sampai di depan GBS suami langsung memanggil bidan yang bertugas, Ayu dan Yunita. Mereka dengan sigap melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Aku tidak dibawa ke ruang suci alias ruang bersalin untuk tindakan selanjutnya, tapi dilakukan di ruang periksa. Sembari beristirahat bayipun kembali melanjutkan IMDnya yang terjeda saat turun dari mobil. 

Setelah diizinkan ke ruang ruang emerald, barulah aku ingat selama hamil ingin sekali menangkap bayi ini saat lahir dengan posisi jongkok. Tapi saat itu aku merasa kurang yakin melahirkan dengan posisi jongkok. 

Alhamdulillah, semua bisa berjalan lancar. Aku dan bayi sehat. Cerita persalinan yang kali ini kembali berbeda dan seru. Alhamdulillah diberi kemudahan dalam persalinan. Semoga kembali dimudahkan, jika kembali hamil dan bersalin. 

“Tapi jangan melahirkan di mobil lagi ya,” kata ibu, suami dan cinta kompak. Mereka tidak kapok kok. Mereka hanya khawatir karena melahirkan di mobil, tidak seperti yang mereka bayangkan. Bunga memilih cerita sendiri di proses persalinannya. Cerita yang tidak hanya berharga bagi dia. Tapi juga kami sekeluarga.

Tinggalkan komentar