Ke Dokter Gigi

“Ma, gigi depan Cinta yang bawah sakit,” kata Cinta suatu pagi. 

“Coba mama liat. Mama pegang ya,” kataku sambil menekan gigi yang dimaksud. “Oh, agak goyang nih kak. Nanti kalau sudah goyang banget, kita ke dokter gigi ya. Kita cabut giginya,” kataku. 

“Gak ah. Cinta takut,” jawab Cinta cepat. Cinta memang punya trauma dengan dokter gigi. Waktu ia berusia dua tahun, kami pernah membawanya ke dokter gigi.

Pilihanku dan suami kala itu adalah dokter spesialis kedokteran gigi anak. Kenapa? Karena aku merasa dokter spesialis kedokteran gigi anak ini akan lebih sabar memahamkan anak dalam tindakannya. Dulu sekali, saat keponakanku Nindy masih kecil, aku sering mengantarnya ke dokter spesialis kedokteran gigi anak ini. Aku melihat langsung langkah-langkah yang dokternya lakukan. Anak takut, maka dokternya akan bersabar dan menjelaskan. Tujuannya agar anak minim trauma dan bisa bekerja sama dalam tindakan yang dilakukan. 

Maka, kami datang ke sebuah rumah sakit ibu dan anak. Atas review seorang teman di sebuah whatsapp grup, aku memilih dokter lain. Bukan dokter spesialis kedokteran gigi anak yang memeriksa Nindy dulu. Bukan apa, dokter yang memeriksa Nindy dulu punya banyak penggemar. Pasien di praktek mandiri ataupun rumah sakit sama-sama banyak dan mengular. Bahkan, kami harus membuat janji lebih dulu hingga seminggu.

Saat masuk ke ruang periksa dokter yang di rumah sakit, aku sedikit terkejut. Kok gak ada unsur ramah anaknya ya! Hiasan dinding kek. Mainan yang tergeletak di meja kek. Atau apapun yang membuat anak-anak tertarik. Aku yang dewasa saja bosan dengan penampilan ruangan dokter tersebut. Sama seperti dengan ruang dokter gigi kebanyakan. 

Aku langsung menjelaskan, apa yang terjadi pada Cinta saat itu. Ternyata giginya yang berlubang, tertutup oleh sisa makanan. Gusinyapun membengkak hingga arah langit-langit mulutnya. Oleh si dokter, gigi Cinta di bor dan dibersihkan. Sayangnya hal tersebut dilakukan tanpa permisi dan pemberitahuan ke anaknya. Cinta kaget dan kesakitan. Setelah itu, seharusnya kami kembali melakukan kunjungan. Tapi mengingat tindakan dokter tersebut, akupun kecewa. Cinta tentu saja kembali menolaknya. Untunglah, tindakan selanjutnya bisa dilakukan setelah bengkak dimulutnya mengempis. Akupun membuat janji dengan dokter gigi Dyah, yang pernah memeriksa Nindy. 

Saat kunjungan pertama, Cinta tentu takut.Tapi sedikit tertutupi dengan wallpaper ruangan yang menarik, aneka buku anak dan beberapa permainan yang disediakan di ruang tunggu. Begitu masuk ke ruang praktek, akupun langsung menjelaskan ke dokter tentang kejadian sebelumnya. Oleh dokter Dyah, Cinta diajak berkenalan dulu. Beliaupun bertanya apa yang Cinta rasakan. Sebelum memulai tindakannya, dokter Dyahpun menunjukkan kegunaan alat-alatnya. Lama? Tentu! Apalagi untuk pasien yang pertama kali datang dan trauma. 

“Nanti kalau sakit angkat tangannya ya. Dokter Dyah akan berhenti,” kata dokter Dyah. Sang dokterpun menepati janjinya. Kunjungan beberapa kali harus dilakukan. 

****

Ternyata keluhan sakit gigi yang dirasakan Cinta belum lama ini kuabaikan. Cinta sendiripun lupa pernah merasakan sakit. Namun, beberapa waktu lalu aku melihat ada yang aneh pada gigi Cinta. Ada putih-putih di belakang gigi bawahnya. Aku pikir itu adalah sisa makanan. Begitu kulihat, ternyata ada dua gigi yang sudah tumbuh di belakang gigi susunya. Tumbuhnya sudah hampir separuh jalan pula. 

Keesokan harinya, Cinta kubawa ke puskesmas. Menolak? Tentu saja. Ia inginnya kembali ke dokter Dyah. Tapi karena sudah cukup besar, aku rasa Cinta akan lebih mudah bekerja sama. Selain itu puskesmas dekat rumah, kami bisa langsung kembali ke sekolah saat tindakan selesai dilakukan. 

Kali ini papahnya yang harus menemani di dalam ruang dokter. Aku mendengar teriakan penolakan dari Cinta. Setelah selesai tindakan, aku bertanya. Ternyata bukan sakit yamg dirasakan. Tapi takut. 🙃

“Kata dokternya, ada peluang gigi yang tumbuh dibelakang itu maju ke tempat yang seharusnya. Tapi kalau di usia 15 tahun gk berubah, ya behel adalah cara satu-satunya supaya giginya rapi,” kata suami.  

Selain overthingking, menurut dokter gigi susu yang belum terlalu goyang inilah yang membuat tidak nyaman saat dicabut. Namun, gigi susu ini tidak bisa dibiarkan. Karena si gigi permanen, harus dirawat dengan baik. Jika dihalangi oleh si gigi susu, bisa-bisa si gigi permanen akan rusak. 

Sayangnya, Cinta kembali trauma dengan dokter gigi. Semoga saja, trauma itu bisa segera hilang. Karena kunjungan ke dokter gigi, masih akan kembali dilakukan.

Tinggalkan komentar