“Bu, mau bubur ayam,” kata mbak Ika saat ia sakit.
“Yang di bawah aja ya?” jawab ibu.
“Gak mau. Maunya yang di gunung sari,” rengeknya.
“Bu, mau pisang gapit nenek bahari,” pinta mbak Ika lagi di lain waktu saat sakit.
Alhamdulillah, setelah makanan yang diinginkan sudah dilahap, mbakku segera pulih dari sakitnya. Apakah aku seperti itu, tentu saja berbeda. Tidak ada anak yang memiliki kebiasaan yang sama meski kakak adik kan? Hingga usia mbakku menginjak 40 tahun, aku pun masih sering iseng bertanya ingin makan apa supaya dia bisa segera pulih saat sakit. Menunya hanya dua, kalau tidak bubur ayam Samarinda ya pisang gapit. Makanan tersebut tidak langsung diminta, biasanya setelah beberapa hari sakit dan tidak kunjung sembuh maka aku akan menggoda mbak Ika. “Coba makan bubur ayam atau nggak pisang gapit, sembuh pang,” kataku. Kalau lagi manja, maka mbak Ika meminta aku yang membelikan untuknya.
Apa istimewanya kedua menu itu? Sebenarnya tidak ada. Saat ini di dekat tempat tinggal kami, kedua menu tersebut cukup mudah ditemui. Mungkin karena kenangannya memberikan semangat yang berbeda saat sedang sakit. Bubur ayam dan pisang gapit adalah menu yang awalnya disodorkan oleh bapak ketika anaknya sakit. Apalagi saat aku kecil, kedua penjual ini cukup jarang. Rasanya pun jauh lebih enak dibandingkan dengan warung-warung lain.
Ternyata kebiasaan itu malah menurun ke Cinta dan Rangga. Mereka punya makanan wajib yang harus dinikmati jika sedang sakit, yaitu Pizza. Jika mbak Ika harus ditanya dulu, anak-anak langsung memintanya. “Mah, Cinta penginnya makan pizza kalau sakit gini.
Jeng jeng
Karena menu pizza juga tidak sering kami nikmati, maka akupun membolehkan anak-anak menikmatinya. Biasanya pun, bukan hanya Cinta dan Rangga yang menikmatinya. Tapi juga keponakan-keponakanku. Pizza mungkin bukan menu yang istimewa buat kami, tapi juga bukan menu yang akan jadi pilihan utama. Makanya ketika ada yang meminta, maka kami semua juga akan ikut menikmatinya.