Sejak pagi, teman-teman sosial mediaku sudah ramai mengajak ke TPS untuk menyoblos. Agak dag-dig-dug sih. Entah kenapa makin ke sini, pemilu makin terasa berbeda. Seperti ada beban tersendiri, ketika ternyata orang yang dipilih tidak sesuai harapan.
Beberapa temanku, ada yang sangat aktif dalam membagikan informasi soal pasangan calon presiden dan wakil andalannya. Baik paslon 1, 2, dan 3. Buatku ini sangat memudahkan lho. Aku jadi bisa mengetahui track record para paslon dari mereka. Semuanya pasti menomersatukan paslon masing-masing. Hanya saja, beberapa kali aku membaca postingan yang menjatuhkan paslon lain.
Huuuuuhhhh. Rasanya pengin aku abaikan dan gak kubaca lagi. Tapi, aku yang minim sama dunia politik ini perlu tahu, siapa yang akan dipilih nanti. Bahkan sejak jauh-jauh hari, aku mengajak suami untuk berdiskusi. Suami memberikan sedikit gambaran akan bagaimana paslon yang akan dipilih. Suamipun mengembalikan pilihan ke aku. Dan jujur saja, saat kami berangkat ke TPSpun, suami masih belum memutuskan.
”Lihat nanti dibilik suara, hati ini pilih yang mana,” jawab suami. Ha-ha.
Petugas KPPS tahun ini kembali diikuti oleh Abi, pamanku. Abi saat ini bertanggung jawab menjadi ketua KPPSnya. Kala, anak pertamanya ikut andil menjadi saksi salahsatu caleg.
Suami awalnya sempat diminta bu RT untuk ambil bagian menjadi petugas KPPS. Karena tidak enak, suamipun mengiyakan.Tapi aku dan ibu bolak balik mengingatkan, bahwa menjadi petugas KPPS itu tidak santai. Tanggung jawabnya mulai dari sebelum pemilu dilakukan.
“Emang bisa ikut pelatihan-pelatihannya? Emang gak mendadak ketemu orang? Emangnya halaman pas Pemilu bisa ditinggal?,” banyak sekali pertanyaan lain yang kerap kulontarkan ke suami.
“Jadi gak setuju nih?” tanya suami saat itu.
”Gak. Istrinya mencoba berpikir realistis aja. Dari pada gak enak, lebih baik tolak dari sekarang. Biar ada penggantinya. Kasihan bu RT sudah berharap besar, eh sekalinya yang diharap tidak bisa diandalkan,” kataku.
Perasaan tidak enak ini, kayaknya melekat sekali dengan orang-orang dengan jiwa ekstrovert deh. Contohnya adalah keluargaku yang memang mayoritas ekstrovert. Aku yang yang introvert, meski sesekali overthinking, tetap bisa menguatkan tekad dalam menolak. Apalagi jiwa tidak enakan ini mendarah daging di pola asuh kita.
Eh, balik lagi ke soal pemilihan paslon. Sesaat sebelum ke TPS, aku dan ibu kembali membuka laman untuk melihat paslon-paslon yang kami pilih. Tujuannya supaya kami tidak salah pilih. Karena ada lima lembar yang harus kami coblos. Ada yang banyak jumlahnya, ada juga yang sedikit. Mana bocah rewel, takutnya salah coblos.
Bismillah, semoga siapapun yang menang bisa menjalankan amanah dengan baik.