Seperti yang banyak kita ketahui, sahabat biasanya lebih dekat dari seorang teman. Dan biasanya sahabat jauh mengenal karakter kita dibandingkan teman. Lalu apakah semua orang memiliki sahabat? Mungkin iya, tapi mungkin saja tidak.
Jika jalan-jalan kembali ke memori masa kecil, tampaknya aku memiliki beberapa sahabat perempuan dan laki-laki. Sayangnya yang perempuan, sering kali membicarakanku di balik wajah manisnya. Aku marah? Tidak. Tampaknya riska kecil sadar, tidak ada gunanya marah pada orang-orang yang manis di depan. Lucunya aku selalu mengatakan ke orang-orang, bahwa mereka sahabatku. Tapi hanya di mulut saja. Tidak dari hati. Saat remaja, juga tidak jauh berbeda. Hanya saja, aku tidak perlu memberikan pernyataan siapa saja sahabatku.

Namun, saat aku duduk di bangku SMA pandanganku soal sahabat mulai berubah. Aku punya tetangga yang seumuran. Sejak SMP kami sering main bersama-sama. Bahkan, ia selalu mengajakku bermain dengan teman-teman sekolahnya. Saat itu, kami berbeda sekolah. Hingga saat SMA, kami satu sekolah. Tentu saja yang paling senang aku, karena setiap hari bisa nebeng ke sekolah 🤭.
Ada bayarannya? Tentu saja tidak. Bahkan buat isi bensin motor, orang tuanya yang turun langsung. Aku sangat paham karakternya. Bahkan semua kisah cinta dan keluarganya aku tahu. Tapi suatu hari, dia bertanya.
“Kamu, anggap aku sahabatmu bukan sih. Aku tuh selalu cerita ke kamu. Mau senang, mau sedih, aku pasti cerita. Tapi kok kamu nggak pernah cerita!” tanyanya agak kesal.
Tentu saja, aku langsung menjawab “iya kamu itu sahabatku. Aku kan juga selalu cerita ke kamu,” jawabku. Tapi sembari memberi jawaban itu, aku juga sambil berpikir.
Iya juga ya. Aku tuh seperti membangun tembok pembatas. Siapapun bisa berteman. Siapapun bisa bersahabat denganku, tapi kok sepertinya aku punya batasan untuk mereka.
“Iya, tapi kamu gak pernah cerita yang sedih-sedih. Yang kecewa-kecewa nggak diceritain,” tanyanya lagi.
“Karena setiap aku mau cerita, kok aku merasa kamu lebih susah dari aku. Lebih butuh pukpukan 😂,” jawabku. Menjadi pendengar untuk orang lain memang tidak mudah. Tidak semua orang langsung bisa menjadi pendengar. Terkadang, hal seperti itu yang dilupakan dalam persahabatan.
Saat lulus SMA, sahabatku ini berkuliah di pulau Jawa. Aku yang tetap di Kota Minyak, tentu saja kembali menjalin persahabatan dengan teman-teman yang lain juga. Sampai sekarang komunikasi kami memang tidak seperti kebanyakan sahabat. Yang masih sering nongkrong bareng atau chat tidak penting. Komunikasi kami sangat minim. Palingan hanya sesekali melemparkan komentar di status media sosial. Tapi sampai sekarang, aku masih menganggap dia adalah sahabatku.
Saat berkuliah, pertanyaan serupa juga pernah dilontarkan sahabatku. Jawabannya tetap sama. Hanya saja kali ini aku mulai menyadari, kenapa ada tembok pembatas yang kubangun. Ternyata, aku tidak mau bersedih atau kecewa saat sahabat-sahabatku ini harus pergi. Entah pergi keluar kota, pindah rumah, atau menemukan circle pertemanan baru yang lebih seru. Apalagi ibuku dulu pernah berpesan. “Silahkan berteman dengan siapa saja. Tapi jangan juga terlalu dekat. Kalau terlalu dekat, takutnya nanti malah musuhan”. Mungkin inilah salah satu alasan ada dinding pembatas itu.
Setelah makin dewasa, aku akhirnya paham sahabatku ternyata tidak jauh-jauh. Ibuku. Iya, ibuku. Semua cerita, gosip-gosip di sekolah atau apapun itu selalu aku bagi pada ibu dengan perasaan berbinar. Aku seperti mendapatkan tempat yang pas untuk bercerita. Tapi nih, aku ternyata tetap tidak bisa menceritakan kesedihanku. Rasanya masih tidak siap menerima nasihat saat sedang bersedih.
Yang menyenangkan adalah aku bisa bercerita ke ibuku kapan saja dan di mana saja. Bahkan sampai sekarang ibu juga sering ku ajak untuk nongkrong bareng jika ada ajakan dari teman-temanku. Tak hanya aku saja, ibu juga selalu melakukan hal yang sama. Semua kegiatan yang dilakukan bersama teman-temannya, akan jadi cerita kami setiap hari.
Menjalin persahabatan memang tidak harus dengan orang yang seumuran. Karena sejatinya sahabat adalah orang yang akan setiap memberikan waktu dan perhatiannya saat kita butuhkan. Tidak hanya saat bersedih tapi juga disaat bahagia. Bukan harus bertemu secara fisik, tapi juga secara hati.
Tapi untuk orang seusiaku, bisa jadi ini hal yang sangat biasa. Karena sudah banyak bertemu dengan berbagai macam karakter. Untuk anak-anak, pasti mereka memilih sahabat yang usianya tidak jauh berbeda. Dan pasti adalah teman sepermainannya. Sebutannya pun bukan lagi sahabat, tapi bestie. Ha-ha.