Siapa pilihan pemimpinmu di Pemilu 2024 ini. Semoga siapapun pilihannya bisa menjalankan dengan baik dan amanah ya. Tidak hanya mementingkan dirinya sendiri. Setiap orang pasti punya kekurangan, tapi semoga semua berusaha untuk memperbaiki diri.
“Ada yang datang kah Cie?” tanya paman ke ibuku.
“Gak ada tuh! Memangnya ada yang mau datang?” Ibuku mengerti pertanyaan tersirat dari pamanku.
“Gak tau. Aku tanya, soalnya sebelah tanyain. Aku sih gak mau. Apalagi sebagai petugas, sudah disumpah. Jadi gak mau ikut-ikut. Lagian aku sudah punya pilihan. Terserah bagaimana kinerjanya dia. Tapi sebagai kakak kelas dan partner dia badminton, aku pilih dia aja,” jawab pamanku.

Mendengar jawaban paman, aku langsung teringat percakapanku dengan suami beberapa waktu lalu. Di beberapa akun teman-temanku, banyak yang secara terang-terangan tidak mau memilih salah satu paslon. Sebenarnya alasannya sangat masuk akal. Akupun juga memberikan penilaian yang sama. Hanya saja, aku tidak menyuarakannya di media sosialku.
“Si X bakal kepilih gak sih sayang? Di medsos banyak banget yang terang-terangan gak suka sama kinerjanya,” tanyaku pada suami.
“Peluang dia menang itu sepengamatan kakak lumayan besar. Banyak yang gak suka dengan kinerjanya memang. Tapi jangan lupa, kadang seseorang memilih itu bukan hanya karena kinerja, tapi juga rasa kekeluargaan, kesukuan, dan banyak lagi. Bukan juga soal uang. Banyak faktornya,” terang suami. Jawaban suami memang tidak maksimal, karena dia paham istrinya tidak tertarik dengan dunia politik.
Lucu memang sih. Karena faktor aku tidak condong memilih X karena figure sang istri yang menurutku tidak “membumi”. Kasihan ya! Padahal aku hanya pernah bertemu sekali. Itupun hanya sambil lalu dan jauh saat suaminya belum menjabat apa-apa. Saat itu aku memilih X karena pasangan paslonnya.
Aku membandingkan dengan istri paslon sebelumnya yang sudah sering bertemu denganku. Orangnya sangat keibuan, kalem, dan penuh perhatian. Aku malah sering merasa dianggap anak oleh si ibu.
“Makanya sayang gak usah kepikiran buat nyalon lah ya. Faktor-faktor pendukung sayang itu sedikit. Apalagi istri juga harusnya bisa menunjukan kebolehannnya kan,” kataku tiba-tiba.
“Lah, yang mau nyalon siapa? Tapi gak tau ya nanti, ha-ha,” jawab suami sambil tertawa. Sebagai alumni ilmu pemerintahan, tentu jiwa suami selalu ingin dekat dengan perpolitikan. Sayangnya semua berbanding terbalik dengan istrinya yang menjadikan dunia luar sebagai sampingan.
“Sayang bayanginlah sebagai istri kan harus ikut kampanye ke sana ke mari. Ihh, mana bisa!” Jawabku.
“Dulu jago aja tuh ngomong di depan banyak orang. Bisa bikin suaminya terpana saat pemaparan di kantor,” tambah suami.
“Itu sedang bermain peran sayang. Anak introvert itu banyak kok yang jago publik speaking. Tapi habis itu energinya drop. Dah lah! Pokoknya jangan kepikiran,” kataku mengakhir percakapan.
Beruntungnya aku, di semua keluarga besar tidak pernah ada pertikaian karena masalah perbedaan pilihan paslon. Mbak Ika adalah orang yang selalu punya pilihan berbeda paslon di keluarga. Ibu dulu sempat agak kesal karena pilihan anaknya. Tentu saja sebagai anak bungsu, aku sudah paham dengan emosi keluargaku.
“Gak apa-apa dong berbeda. Biar beda dia tetap anak ibu, ha-ha,” jawabku dulu.
“Biarkan mbak dengan pilihannya bu. Toh pilihan kita gak tiba-tiba datang ke rumah kan. Yang penting saat memilih tetap berdoa, supaya pilihan kita ini membawa kebaikan. Lucu amat marah gara-gara paslon, kelar pemilu masih musuhan, paslonnya malah bergandengan tangan,” tambahku.
Jadi bagaimana pemilu di tempatmu?