Jodoh Tak Bisa Dipaksakan Bagian 1

Awan mendung yang menggantung di langit Balikpapan, tampaknya membuat hatiku makin tak tenang. Rasanya ingin lari menjauh dari rutinitas sejenak. Mungkin aku lelah. Atau aku dilema karena percakapan semalam?

“Nanti, kalau kita nikah kamu berhenti kerja aja ya,” kata Adi, lelaki yang beberapa tahun ini berstatus sebagai pacarku.

Aku, Lila Kamila seorang mahasiswa tingkat akhir yang baru saja diterima bekerja di Bank miliki pemerintah daerah. Adi pacarku, juga bekerja di sebuah perushaan milik pemerintah.

Belakangan ini, orangtua Adi kerap bertanya kapankah kami akan menikah. Meski masih sama-sama kuliah, tapi kami sudah bekerja. Apalagi kami juga dekat cukup lama. Orangtua merasa yakin kami mampu menjalani babak baru dipernikahan.

“Errrr, serius. Tapi aku baru aja ngerasain kerja. Masa nikah berhenti. Aku kan juga pengin punya penghasilan sendiri,” jawabku. Tentu saja, pemikiran ini hanyalah sesaat saja. Aku belum memikirkan secara matang. Yang jelas, aku belum mau menikah dalam waktu dekat. Entah mengapa aku merasa hubungan ini tidak seperti harapanku. Bahagia? Mungkin. Tapi aku merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang salah.

“Udahlah kita pikirin nanti. Aku masih belum mau nikah besok,” ujarku lagi.

***

Tumpukan dokumen yang menggunung akhirnya bisa aku selesaikan. Tak seperti biasa, akhir pekan ini banyak sekali nasabah yang datang. Padahal biasanya akhir pekan adalah waktu yang cukup lengang. Aku melirik layar gawaiku. Tak ada pesan. “Tumben gk ada nyariin,” batinku.

Karena sudah pukul 7 malam, aku memutuskan untuk makan dulu sebelum pulang ke rumah. Kukirim pesan ke Adi, menanyakan keberadaannya dan mengajaknya untuk makan. 5 menit. 10 menit. Pesanku tak kunjung dibalas.

Aku memutuskan untuk beranjak tanpa menunggu balasannya. Aku memang bukan orang yang suka menelpon. Komunikasi kalau bisa hanya lewat pesan. Kecuali untuk sesuatu yang sangat penting.

Diperjalanan, aku belum memutuskan ingin makan apa. Padahal sepanjang jalan yang kulewati banyak kuliner-kuliner yang bisa dijadikan pilihan. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.

“Ah sudahkah. Aku makan mie ayam hijau aja,” putusku sambil memutar balik. Warung mie ayam favoritku dan Adi. Lokasinya memang tidak sejalan dengan arah kepulanganku. Entahlah, hati ingin ke sana.

***

“Lila?” sapa seorang perempuan, saat aku memarkirkan kendaraanku.

“Chika!,” seruku. “Apa kabar? Sama siapa ke sini?” tanyaku.

“Sama pacarku. Tapi kami gk satu kendaraan,” jawabnya. “Ya udah, aku duluan ya,”

Sebenarnya ada perasaan tak nyaman. Tapi aku mengabaikannya. Kulihat ada meja kosong di bagian belakang.

“Adi!” seruku.

“Lila?” jawab Adi gugup.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Sama siapa? Kok pesanku gk dibalas. Malah ketemu di sini,” tanyaku beruntun. Ada perasaan kesal tapi karena aku sudah terlalu lapar, lebih baik tidak usah diperpanjang. Dari pada nanti emosiku makin menggila.

“Hpku lowbat. Aku baru juga sampe. Tiba-tiba pengin makan mie hijau.” jawabnya. “Err ini mangkok punya orang kok,” tambahnya.

Aku sebenarnya tak yakin. Tapi ya sudahlah.

Tinggalkan komentar