Bapak : Awal Perjalanan

Jakarta 2014

“Dokternya belum datang juga ya?” kata bapak sambil menahan sakit.

“Belum pak,” jawab ibu sambil memikat kaki bapak.

Aku hanya duduk diam sambil menyentuh layar gawai, tanpa melakukan hal yang berarti. Sudah lebig satu bulan kami bertiga pindah tidur di Rumah Sakit milik perusahaan tempat bapak bekerja. Dokter tidak melakukan banyak tindakan seperti yang kami bayangkan. Tentu saja, mereka punya penilaian dan ilmu sendiri untuk menghadapi kondisi bapak. Bapak jatuh dengan kondisi leher yang patah.

***

Balikpapan, Juni 2014

Awalnya tidak ada keluhan yang amat sangat. Seminggu setelah jatuh, bapak baru merasa kakinya jadi lemas dan nafas sedikit berat.

Kamipun segera memeriksa bapak ke rumah sakit daerah kami tinggal. Hasil rontgen dan MRI sangat baik. Tidak ada tulang yang patah atau pun bergeser. Bapak hanya diberi vitamin.

Seminggu kemudian, kondisi bapak makin lemas. Di rumah jadi lebih sering menggunakan oksigen. Untuk berjalan sudah sangat kesulitan. Jika ingin keluar kamar, bapak harus menggunakan kursi roda. Kakakku yang seorang tenaga medis di RS pemerintah mengajak bapak untuk memeriksa di tempatnya bekerja. “Apa bedanya dengan RS kemarin,” tanya ibu dan bapak bersamaan.

Alatnya sama sih pak. Tapi kan dokternya beda. Mungkin punya diagnosa yang berbeda. Gak ada salahnya kita coba,” kata kakak.

Maka, keesokan harinya kamipun mengantar bapak. Seperti kebiasaan bapak kami mengantar bapak saat kontrol ke rumah sakit. Beramai-ramai. He-he.

Sesampainya di RS Pemerintah tersebut, kakak dan ibulah yang menemani bapak. Sayangnya saat akan melakukan pemeriksaan MRI, alat di RS tersebut rusak. “Saya rujuk ke RS X untuk pemeriksaannya ya. Periksanya saja, karena alat di sini lagi rusak. Nanti malam, kalau hasilnya sudah keluar, saya yang akan bacakan diagnosanya,” kata dokter. Kamipun melanjutkan pemeriksaan ke RS lain dan langsung pulang ke rumah.

Malamnya, kakak menelpon dengan isak tangis. Aku dan ibu menerima telpon menjauh dari bapak, agar tidak terdengar. “Tulang leher bapak patah bu. Itu yang bikin bapak lemas dan susah nafas. Karena tulang yang patah itu menekan sarah kaki dan pernafasan,” kata kakak. Tentu saja, itu adalah bahasa sederhana yang kakak sampaikan ke kami.

“Lalu kita harus bagaimana?” tanya ibu sambil menangis.  

“Bapak jangan dikasih tau dulu. Biar dokter yang sampaikan langsung. Besok bapak langsung di antar aja ke IGD,” tambahnya. Tangisan kampiun harus ditahan agar bapak tidak mendengarnya. Pasalnya kondisi seperti ini, menurut kakak tidak akan bertahan lama. Kami harus siap dengan kondisi terburuk yang akan diterima. Yaitu kematian.

Keesokan harinya, kami membawa bapak ke RS milik perusahaan tempat bapak bekerja. Alasannya karena bapak masih dalam tanggungan perusahaan. Kakak sebenarnya kurang setuju. Mengingat diagnosa sebelumnya yang tidak akurat.

Kondisi bapakpun sangat berbeda dari kemarin. Kali ini bapak tidak bisa berjalan sama sekali. Bahkan bangun dudukpun tidak bisa. Tubuh bapak cukup berat, sehingga memerlukan 5 – 6 orang harus mengangkat bapak ke ambulan.

Dan perjuangan bapakpun di mulai, dengan aku dan ibu sebagai pendampingnya. Bukan hanya kami,tapi juga seluruh keluarga besar kami. Termasuk rencana hidupku di masa mendatang.

Tinggalkan komentar