Masih menikmati suasanadi rumah aja atau sudah mulai beradaptasi dengan normal baru? Keluargaku sudah mulai beradaptasi dengan kebiasaan normal baru. Namun, karena sejak zaman penjajahan Belanda aku memang cukup kesulitan dengan berada di keramaian. Maka, jika mengunjungi suatu tempat dan terlalu ramai, pindah haluan akan jadi pilihan.
Semalam, tiba-tiba ibu mengingatkan kejadian setahun lalu. Saat tingkat pasien covid-19 di Balikpapan cukup tinggi. “Inget gak, setahun lalu itu kita beruntutan sakit dan kamu kehilangan indera penciuman,” kata ibu.
“Oh, Januari tahun lalu ya bu. Iya ya,” kataku. Saat itu, kami sekeluarga bergiliran sakit. Di mulai dari suami, Cinta, Rangga, Ibu dan saya. Tak hanya itu, keluarga kakak ke dua saya juga sakit dalam waktu bersamaan dan ditambah salahsatu mertuanya meninggal dunia. Apakah covid-19? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Saat kami sakit, suami melakukan antigen. Saya dan ibu memilih menunggu sementara. Pertimbangan cukup banyak. Saat itu saya masih menyusui Rangga (lah, sekarang juga masih sih). Penderita covid-19 saat itu protokolnya harus dipisahkan. Dilema buat ibu-ibu menyusui kan? Alhamdulillah, protokol semakin lama semakin baik. Saat ini ibu penyintas Covid 19 yang menyusui anaknya, tidak bisa dipisahkan, kecuali memang kondisinya tidak memungkinkan.
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku pada suami melalui aplikasi chat yang bergambar telpon hijau.
“Positif,” jawabnya.
“Hah?? Terus sekarang gimana,” aku makin panik. Rasanya jantung sudah ada di usus. 5 menit. 10 menit. Chat juga tidak dibaca. Seketika hidungku tidak bisa mencium apapun. Inhale, exhale. Aku bangsung mengambil esensial oil peppermint di lemari. “Oh, masih tercium. Aman berarti ,” batinku. Yang aku tahu, salah satu tolok ukur covid 19 ada di indera penciuman. Meski saat flu biasa, indra penciuman kita juga bisa hilang sih.
“Bercanda kok,” kata suami saat aku menghubungi via telpon. “Alhamdulillah negatif,”
Beberapa hari inipun aku fokus mengurus pemulihan Cinta, Rangga dan ibu yang masih sakit. Aku bahkan sampai lupa kalau kondisiku sendiri belum pulih. Oh iya, jauh sebelum covid 19 melanda bumi ini, indra penciumanku memang kurang baik. Untuk mencium sesuatu harus dari jarak saaaaangaaat dekat. Makanya saat ada aku tidak mencium aroma sama sekali, aku tak menyadari. Apalagi sibuk dengan anggota keluarga yang sakit. Aku baru ngeh tidak membau, saat Rangga buang air besar.
“Baunya beolnya ade,” teriak Cinta. Padahal posisi Cinta saat itu ada di luar kamar mandi. Sedang aku di depan Rangga. Aku malah tidak mencium sama sekali. Tak hanya itu, saat suami memakai parfum, aku tidak ada komplen sama sekali. “Sayang, kok ade gk cium bau beol Rangga atau parfum ya,” kataku pada suami. “Hayuuk,” tanggapnya.
Saat kondisi itu terjadi, aku bersyukur sekali karena tidak ada keluar rumah sama sekali. Suami bisa bekerja dari rumah. Kebutuhan harian kami juga terpenuhi dengan stock di kulkas. “Pokoknya anak-anak jangan ke rumah. Istirahat aja dulu. Ibu juga pengin istirahat gk diganggu,” kata ibu ke mbak. Kebetulan keluarga mbak sedikit susah diingatkan kalau soal kunjungan ke rumah. Ha-ha. Jadilah seminggu lebih mereka puasa ke rumah. Bahkan saat ade ipar dari Samarinda mau datang berkunjung aku larang.
“Uhuuhkk. Uhuukkk. Ihh, parfumnya nyegrak banget. Akhirnya kecium lagi,” kataku suatu pagi.
“Lah, kemarin–kemarin gk keciuman?” suami bertanya dengan tatapan terkejut setengah mati.
“Gak kak. Bau beol Rangga aja gk keciuman,” jawabku sambil membereskan tempat tidur.
“Deeeeeeeeee. Jangan-jangan positif. Kok gk bilang sih,”
“Kan waktu itu sudah ade kasih tau. Sayang cuma jawab hayuk. Makanya ade larang kemana-mana dua mingguan ini kan,” tambahku.
Ingat ya, otak para laki-laki tidak sama dengan perempuan. Kalau ngomong sama laki-laki dia harus fokus pada kita. Jadi ternyata suami selama ini tidak menyadari keanehan pada penciuman istrinya. Bagaimana dengan ibu? Indra penciuman ibu tidak sepertiku. Tapi indra perasanya yang terganggu. Makanan tidak ada rasanya. Bagi ibu, semua makanan berbau seperti soto banjar. Hampir satu bulan ibu hanya bisa makan bubur dengan kecap asin. Lauk dan yang lain, dimakan hanya sedikit. Itupun sangat kesulitan.
Tiga bulan setelah kejadian itu, salah satu teman ada yang positif covid 19. Setelah ia sembuh, kampiun bertegur sapa melalui chat. “Anehnya, aku tuh gk bisa cium ini itu. Tapi peppermint bisa lho,” katanya.
Duuuueeeenng.
“Lah, aku waktu itu begitu,” kataku. Krik, krik.
“Makanya jangan jadikan indra penciuman sebagai patokan. Kalau ngerasa ragu, udah test aja,” kata temanku.
Rasanya bersalah sekali kalau diingat-ingat. Semoga pilihan untuk double masker dan berusaha di rumah selama mungkin jadi pilihan yang tepat. Mungkin masih banyak yang tidak sependapat. Tidak masalah. Jika memang Takdirnya terjadi, ya akan terjadi. Tapi tidak ada salahnya jika kita menjaga dan mengendalikan diri sendiri.