Pekerjaan rumah apa yang paling orang-orang suka? Aku yakin tidak ada yang sama. Aku lebih memilih beres-beres. Sedang ibu memilih cuci baju, suami lebih suka memasak. Ibu sebenarnya serupa denganku. Suka beres-beres, tapi semenjak bapak sakit di than 2014 ibu langsung menghapus daftar pekerjaan beres-beres. “Sekarang, ibu bantu masak aja deh. Lebih simple,” kata ibu tak lama setelah bapak berpulang.
Ibu menolak duduk manis tanpa pekerjaan. “Nanti badan ibu malah sakit karena kurang gerak. Kalau masih masak kan masih gerak,” jawab ibu saat aku melarangnya melakukan pekerjaan rumah. “Oke, yang ringan-ringan aja ya. Kalau badannya gk enak atau terasa berat, gk usah diteruskan. Ibu itu sekarang masanya leha-leha sambil ibadah,” kataku.
Bersih-bersih, buatku seperti healing. Melepaskan penat dan lelah setelah berjam-jam bertugas di rumah. Namun, ada satu yang menurutku aneh. Meski aku suka bersih-bersih, aku tidak “gila”kebersihan. Aku masih cukup santai menghadapi rumah yang berhambur. Apalagi setelah aku punya anak. Makin santai lagi. Ha-ha.
Berbeda dengan ibu. Sampai sekarang, ibu itu gk suka kalau rumah berhambur. Makanya kalau teman-teman Cinta atau sepupu-sepupu main di rumah, ibu agak stress. Ibu memilih di dalam kamar seharian. Paling keluar cuma untuk ambil makan saja.
Standar kebersihan tiap orang memang tak sama. Yang menurutku sudah bersih dan rapi, tapi menurut ibuku tidak. Dulu, saat masih bekerja dan menjadi jurnalis halaman anak muda, aku dan teman-teman pernah merombak dekorasi ruang kerja kami. Dari luarnya ruangan, ruang kerja kami cukup menonjol. Pokoknya begitu masuk pintu, ruangan kami akan berbinar-binar misterius. Dengan warna dasar hitam dan ornamen anak ramai khas remaja.
Begitu CEO naik ker ruang redaksi, beliau spontan berkata “Kok jorok banget.” Tak hanya kami, tapi beliau juga mengatakan pada HRD dan OB. Kami dilema. Biaya mendekor ini tidak sedikit. Apalagi, tujuan dekor kami ini karena HUT kantor. Pasti akan ada tamu yang berkunjung ke meje kerja kami. Kami bingung, mau dilepas kok sayang uangnya. Mau dibiarin takut reaksi para tetua makin menjadi.
Akhirnya sayapun bertanya pada Alm Bang Rizal, wakil pimred yang menjabat kala itu. “Bang, dilepas aja kah semua dekorasi kami. Katanya jorok bang,” tanyaku. Bang Rizalpun bertanya bagaimana detailnya. “Ada perintah langsung untuk lepas dekorasinya gak,” tanyanya balik. Aku menggeleng. “Cuma tersirat bang,” jawabku.
“Jujur aja, aku bingung kalau dibilang dekor kalian jorok. Soalnya meja kerja yang hari-hari ku tatap aja gak kubilang jorok,” katanya. Aku melirik meja kerjanya. Ampuuuuuuuuun. Gak ada rapi-rapinya. Malahan, yang sering menyusun buku-buku dan kertas di mejanya aku. Ha-ha.
Atas pertimbangan tidak ada perintah langsung untuk melepas dekorasi, maka kami membiarkan dekorasi ala ABG itu.
Saat hari ulang tahun tiba, banyak tamu yang datang dan minta menengok ruang kerja utama kantor ini, alias ruang redaksi.
“Wow, keren sekali dekorasinya. Bener-bener anak muda,” kata seorang tamu.
“Dekor kayak gini, perlu diadaptasi di kantor kita. Biar karyawannya gk jenuh,” tambah yang lain.
Ternyata tak ada satupun tamu yang merasa tak cocok. Mereka menganggap ruang kerja itu sesuai dengan kami yang berada di lingkungan anak remaja.
Sekarang, ruang redaksi tak lagi kaku. Tak terpaku pada divisi tertentu. Semua ruangan redaksi, dibuat senyaman dan semenarik mungkin. Tujuannya biar karyawannya betah. Capek liputan atau ngetik berita, bisa istirahat sebentar sambil menikmati permainan-permainan yang disediakan.
Bahkan, Cinta yang pernah menemani papahnya ke ruang redaksi, malah ogah pulang dan merengek minta ke kantor terus. “Soalnya di kantor papah seru. Banyak mainannya,” kata Cinta.
See, kadang yang buat orang lain biasa saja malah disukai orang lain. Namun yang terpenting, standar kita tetap tercapai dan kita bahagia dengan melakukan yang kita suka, tanpa merugikan orang lain.