Ndi, mami punya jam tangan yang gk dipakai tuh. Kamu gk mau kah,” kata Nenek pada cucu pertama perempuannya.
“Gak ah. Gak suka,” jawabnya Nindy sambil menikmati kentang goreng yang tidak digoreng.
“Kenapa? Masih bagus kok. Modelnya juga masih anak muda,” kata Nenek lagi sedikit memaksa.
“Kakak gk suka pake gelang-gelang nek,” jawabnya.
“Padahal pake jam itu bagus. Kamu jadi tau kapana harus mengerjakan ini dan itu. Orang yang pakai jam, juga lebib menghargai waktu,” tambah nenek meyakinkan. “Lihat tuh mami. Dari kecil, dari SD kelas 1 dia gk pernah gk pake jam kalau keluar rumah. Padahal dulu, dia gk bisa baca jam,”
Hmmm, bete kali ya si Nindy dibandingkan denganku, tantenya. Sejak kecil, aku memang suka memakan jam tangan. Mulai dari yang bentuknya karakter kartun, model ibu-ibu ataupun mode yang sedang trend, baby g-shock.
Dulu saat kecil, aku selalu merasa keren kalau memakai jam tangan. Jadi pakai jam bukan karena kebutuhan, tapi biar keren. Ha-ha.
Kebiasaan itu, berlanjut sampai sekarang. Aku ingat benar, saat reuni dengan teman-teman SD di masa SMA, seorang teman berkata “Kamu tuh gk pernah lepas jam ya? 6 tahun di SD, 3 tahun SMP kita satu sekolah, gk pernah aku liat kamu gk pakai jam. Terus sekarang reuni, masih aja pakai jam.”
Hmm, berawal dari terlihat keren malah jadi kebiasaan. Memang benar, aku merasa aneh kalau tidak memakai jam. Jadi selain dompet, handphone jam tangan harus selalu dibawa kemanapun. Apalagi saat ini, jam yang kugunakan adalah jenis smartwatch. Makin tidak bisa lepaslah itu jam. Karena selain untuk pengingat waktu, juga untuk penghitung langkah, olahraga, notifikasi smartphone dan masih banyak lagi. Jadi kekerenan jam tangan saat ini, menurutku juga membantu aku lebih produktif.
Tapi menurutku, menggunakan jam tangan bukan berarti selalu orang tersebut ontime kok. Terbukti, suami bukan orang yang tepat waktu. Soal waktu, kami berdua seperti langit dan bumi. Yang satu ngebut dan berusaha teratur, yang satu selow.