Putih yang Jadi Pilihan

Sejak tahun lalu, suami sudah menyuarakan untuk mengecat rumah. Alasannya karena dinding rumah sudah tidak ada ruang berkreasi lagi. Alias penuh dengan coretan anak-anak. Ha-ha. “Yakin mau di cat? Anak-anak masih kecil lho. Dan kita berencana nambah satu anak lagi. Mungkin Cinta dan Rangga sudah berhenti menggambar di dinding. Adiknya nanti, kan gak tau,” kataku pada suami. Aku sendiri senang sih, kalau ada nuansa baru di rumah. Tapi juga memahami kondisi yang mungkin akan terjadi.

“Ya kalau di coret lagi, ya udah. Mau gimana. Kalau ada budgetnya, ya di cat lagi,” kata suami. Ya bener sih ya. Sambil menabung perlahan, kami pun memilih cat apa yang dipilih. Sejak awal aku bulat memilih warna putih. “Pokoknya kamar mau putih. Ruangan lain terserah. Tanya aja nenek, mungkin punya pilihan lain,” kataku pada suami suatu hari. Kamipun pelan-pelan mendiskusikan pada nenek, pemilik rumah. Meski Nenek selalu bilang kalau rumah ini nantinya milikku dan aku bertanggung jawab pada perawatan dan pengelolaannya, aku tak mau jumawa. Aku sadar, kalau tidak bisa ada dua ratu dalam satu istana. Biar bagaimanapun, nenek masih menjadi pemiliknya dan aku adalah anaknya. Soal urusan penampilan, nenek bukan orang yang mudah diajak diskusi.

“Kalau putih, nanti keliatan kotor de. Apalagi kalau nanti dicoret-coret lagi,” kata nenek mencoba menggoyahkan keyakinanku.

“Riska sih maunya hitam bu, tapi kan gak mungkin ya. Ha-ha. Barang di rumah kita kan beraneka warna dan rupa, ya mendingan dindingnya putih. Biar gak makin ramai. Kalau ibu mau warna lain gak apa-apa kok,” jawabku.

“Tapi kan sayang catnya. Kalau mau putih putih semua, kalau hijau (kayaknya yang dimaksud biru sih) ya hijau semua,” kata nenek. Ha-ha. Ibuku banget sih. Menggiring supaya keputusannya seakan-akan keputusanku.

“Gak apa-apa bu, kalau ibu mau warna lain. Kan jadi beli cat putihnya gak banyak. Aman aja,” kata suami.

Pilihan warna belum juga diputuskan, bahkan saat kami di Banjarmasin, belum juga ada keputusan.

“Bu, waktu kita nginepdi hotel, inget gak hotel terakhir yang kita inapi?” tanyaku membuka percakapan. “Iya kenapa?” tanya nenek balik.
“Enak?”

“Enak”

“Gimana suasananya?” tanyaku lagi.

“Lebih lega sih. Hotel yang sebelum-sebelumnya enak juga. Cuma yang di terakhir itu gak keliatan suram. Ya yang sebelumnya juga gk suram sih. Cuma beda aja,” kata nenek mencoba menjelaskan.

“Ingat kah warna catnya apa?” tanyaku memancing.

“Putih. Iya ya. Kalau di cat putih, dinding kita keliatan lebih bersih, lebih segar . Gak sendu,” kata nenek.

“Boooleeeeehhh,” kataku dengan intonasi khas keluarga kami.

Akhirnya cat putihpun dipilih. Meski baru ruang tamu dan kamarku yang selesai di cat, terlihat sekali perbedaannya. Walaupun sambil mengecat suami sesekali mengeluhkan coretan yang masih terlihat. Ha-ha.

Tapi aku cukup puas. Untuk warna luar rumah, aku tak mau berdiskusi lagi. Karena selera ibu dan suami sama. Ingin perpaduan kream dan coklat. Aku lega dan sedikit bangga, karena berhasil menerapkan komunikasi produktif, untuk membuat keputusan bersama.

Tinggalkan komentar