“Ayo pulang sekarang!”
Tia membuyarkan lamunanku. Sudah lima belas menit aku menunggunya di kantin sekolah. Aku menunggunya selama ini, bukan hanya karena ia sahabatku. Tapi karena rumah kami yang satu blok dan pagi ini aku menumpang untuk pregi sekolah.
“Gak nunggu Febri?” tanyaku sambil mengikutinya ke parkiran motor.
“Gak, dia diajak ikut lomba mading,” kata Tya sambil menyerahkan helmku.
***
“Kalian punya waktu satu minggu untuk membuat madingnya. Teerserah isinya seperti apa, penampilannya bagaimana. Bapak bebaskan kalian berkreasi. Siapa saja yang mau terlibat dalam pembuatannya, atur sendiri. Bapak cuma minta, yang dulu pernah ikut lomba mading tingkat kota kembali berpartisipasi,” kata Pak Slamet, wali kelasku.
Semua mata langsung tertuju pada Rani. Dialah satu-satunya yang ada dikelas ini, yang pernah mengikuti lomba mading tingkat kota.
“Baik pak,” jawab Rani pelan.
***
“Ana, Tya, pokoknya kalian harus ikut bikin madingnya,” kata Rani saat jam istirahat.
“Ish, gak mau. Males aku,” kata Tya acuh. Sahabatku ini memang terkenal tak pernah basa-basi. Ia juga tak suka disibukan kegiatan sekolah. Baginya cukup urusan sekolah cukup belajar saja.
“Ayolah. Please. Siapa lagi sahabatku di kelas ini. Ayo ya Ana. Mau yaaaa,” pintam Rani memelas.
“Aku sih mau aja Ran, tapi kan kamu tau aku gak punya kendaraan. Kemana-mana Tyalah ojeknya. Kalau gak ada dia, mana mungkin aku bisa,” jawabku.
“Sialan!” umpat Tya sambil melempar penghapus ke arahku.
“Ayo dong Tya. Kita kan sudah sahabatan dari SMP. Masa kamu gak mau bantuin aku sih. Nanti ide, perlengkapan, dan buat ya di rumahku aja. Pokoknya kalian gk perlu terlalu repot deh,” Rani kembali meyakinkan.
“Iya deh,” akhirnya Tya luluh juga. Kami masih memerlukan 2 orang lagi untuk melengkapi tim mading kelas. Pilihan jatuh pada Merry, yang merupakan teman SMP Tya dan Rani. Merry mengajak Dina, teman sebangkunya. Atas dasar sahabatnya sahabat, tim mading kelaspun di bentuk.
***
“Kita mesti bikin yang beda. Jangan tempel-tempel artikel doang. Mana seru cuma nempelin potongan koran,” kata Tya. Kalau sebelumnya dia yang ogah untuk ikut lomba mading, kali ini dia yang paling bersemangat menentukan ide dan temanya.
“Ya namanya juga majalah dinding,” potong Merry.
“Iya, tapi bukan yang tempel-tempel biasa. Apa gitu yang bikin beda. Kamu dari tadi makan kacang mulu Na. Kasih ide dong,” kata Tyas sinis.
“Kalau dihias pakai ini gimana?” tanyaku sambil mengangkat satu butir kacang dihadapan ke empat sahabatku.
“Ya busuklah!” jawab Tya sambil mendengus.
“Kayaknya gak deh kalau yang masih mentah. Kalaupun busuk, pasti bakal lama. Di pasar kan kacang-kacang itu lama,” kataRani. “Bagus tuh ide Ana, kita hias mading kita dengan kacang-kacangan. Nanti aku gambar polanya. Hiasannya dari berbagai macam kacang-kacangan,”
***
Setiap pulang sekolah sampai tengah malam kami terlarut dalam aktivitas membuat mading. Rani yang jago menggambar, membuat pola keindahan dasar laut. Pola itu kami isi dengan berbagai jenis kacang. Ada kadang tanah, kacang hijau, kacang putih dan kacang kedelai. Sentuhan akhirnya kami beri cat air. Selain Rani, ternyata Tya juga berbakat mewarnai. Tugasnya mewarnai. Aku, Merry dan Dina bertugas menempel kacang tersebut. Untuk artikel, kami keroyokan mengerjakannya.
Hari pengumpulan madingpun tiba. Aku, Tya, Rani, Merry dan Dina sangat puas dan bangga dengan hasil karya kami. Tak ada yang tahu proses pengerjaan mading kelas, bahkan teman sekelas. Kenapa? Karena kami ingin memberikan kejutan. Khawatir kalau terlalu koar-koar hasilnya malah mengecewakan. Dan benar, hasil pengerjaan yang diam diam ini membuat banyak mata kagum.
“Dan pemenangnya adalah kelas XI IPA II,” teriak Kepala Sekolah. Sontak siswa kelasku bertepuk tangan dan bersorak ramai.
“Selamat ya. Kalian berhak mengikuti lomba mading tingkat kota bulan depan. Selepas upacara ini, kalian silakan ke ruangan saya untuk mengisi formulir,”
Teman teman sekelasku masih tertawa bahagia. Tapi tidak buatku, Rani, Tya, Merry dan Dina. Karena kamis sadar kalau selama ini, kami keliru. Lomba mading ini, untuk menyeleksi. Para guru paham benar. Jika murid-muridnya dipaksa mengerjakan, pasti hasil tidak memuaskan. Berbeda jika dilakukan dengan bahagia. Tentu saja akan memberi hasil yang mengejutkan.