“Kamu kok gak cari info Ty. Katanya mau kuliah di Jawa. Kalau diem-diem gini mending kuliah di sini aja.” Kalimat Om Rio membuatku dan Tya tersentak. Kedua orang tua Tya adalah perantauan dari pulau Jawa. Buat mereka, anak-anaknya harus bersekolah di pulau Jawa. Biar punya pengalaman jauh dari orang tua. Bertolak belakang dengan kedua orang tuaku. Bahkan menjelang ujian nasional, aku belum memutuskan akan melanjutkan di mana nantinya.
“Kamu kuliah di mana Na?” tanya om Rio padaku.
“Belum tau om. Yang pasti di sini aja. Mana boleh aku keluar kota,” jawabku.
“Cari info juga. Ikut tesnya diam-diam. Siapa tau lulus dan bapakmu luluh. Kan enak juga kalau Tya ada temannya di Jogja. Om jadi lebih percaya,” kata om Rio.
“Iya Na. Pasti seru kalau kamu kuliah di sana juga,” antusiasme Tya mendadak muncul. Aku hanya tertawa sinis. Aku tau benar, Tya akan bahagia kalau aku kuliah dengannya maka aku akan kembali menjadi tumbal. Bersahabat dengan Tya sejak SD, aku paham benar dengan tingkah lakunya. Ia sering sekali menjadikanku sebagai tameng saat berbohong pada orang tuanya. Kedua orang tuanya bekerja. Setelah di tinggal kakaknya berkuliah 4 tahun lalu, Tya selalu menghabiskan waktu di rumah sendiri atau denganku, yang rumahnya hanya beberapa meter.
Alhasil, saat Tya keluar rumah dengan teman-temannya yang lain, dia sering beralasan jalan bersamaku. Padahal, aku sedang duduk manis di kamarku sambil membaca buku.
“Memangnya kamu gak pengin kuliah jauh gitu? Kan selama ini kamu gak pernah kemana-mana, peraturan rumah ketat. Kalau kuliah jauh, kamu bisa bebas sedikit lho,” tanya Tya serius. Aku tak menjawabnya. Keinginan itu tentu saja ada. Tapi aku tak punya keberanian untuk menyuarakannya. Mimpiku menjadi seorang psikolog hanya berani ku pendam di dalam hati.
***
“Kayaknya kalau jadi psikolog keren ya bu,” tanyaku saat melihat seorang psikolog di wawancarai di TV.
“Di sini mau jadi psikolog susah dapat kerjanya. Beda sama di sana (kota besar),” jawab ibuku menunjuk TV. “Cari kuliah itu, yang gampang dapat kerja. Ya kalaupun nanti jadi ibu rumah tangga, gak apa-apa. Tapi setidaknya ilmunya kan kepake,”
“Bener aja dong berarti kalau pilih psikolog. Kan bisa dipakai untuk anak dan keluarga sendiri. Atau jadi jurnalis aja keren juga bisa liputan kemana-mana,” ujarku mencoba meyakinkan ibuku.
“Halah! Di sini, di mana jurusan menjadi psikolog atau jadi reporter?,” ibuku balik bertanya.
“ Di sini belum ada. Tapi di kota sebelah ada,” aku menjawab dengan antusias.
“Kota sebelah! Cari aja jurusan lain. Gak mungkin diizinkan bapak kuliah di luar kota,” jawab ibu sambil berlalu meninggalkanku.
Dengan ibu saja, aku tidak berhasil meyakinkan bahwa aku bisa kuliah di luar kota. Apalagi bapak. Semua peraturan yang selama ini kujalani adalah dari bapak. Menyampaikan keinginanku saja tak berani, apalagi mengajak diskusi. “Sudahlah. Terbangkan saja mimpiku ini,” batinku.
***
“Kamu serius mau ikut tes sekolah keperawatan?” Tya terkejut dengan keputusanku. Tak pernah sekalipun aku menunjukkan ketertarikan belajar pada bidang kesehatan.
“Lah, kamu sendiri?” aku balik bertanya pada sahabatku yang berambut panjang ini.
“Karena mbakku bilang, jurusan ekonomi itu ribet banget . Dia bilang mendingan aku ambil jurusan lain saja. Kalau sekolah keperawatan, selesai bisa kerja di rumah sakit,” jawab Tya. Yang ada di otak kami saat itu adalah selesai sekolah harus bekerja. Kalau ingin bekerja di tempat yang bagus, maka jurusannya harus sesuai. Entah kenapa pola pikir kami seperti itu. Mungkin karena diskusi selama ini hanya kami lakkan berdua. Tanpa pendampingan orang dewasa lainnya.
“Yakin cuma itu?” jawab Tya tak meyakinkanku.
“Ha-ha. Intinya adalah aku mau keluar dari rumah ini. Aku mau secepatnya jauh dari mama – papa. Jadi kamu kenapa?” jawab Tya.
“Karena aku gak mungkin bisa keluar dari kota ini kayak kamu, aku cuma pengin mencoba peruntungan kok. Melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak disetujui bapak dan ibuku. Toh, sekolah keperawatan yang kutuju masih di kota ini. Aku gak akan pergi jauh dari orang tuaku. Aku cuma mau ‘bandel’,” jawabku. Ibu dan bapak sebenarnya tak setuju dengan keputusanku tes di sekolah keperawatan. Karena kakak dan sepupu-sepupuku banyak yang lulusan keperawatan. Semuanya selalu kompak menjawab “Kalau bisa sekolah lain, yang lain aja deh. Jangan jadi perawat. Capek!” itulah yang membuat ibu dan bapakku tak setuju. Apalagi kakakku sendiri kerap mengeluh dan tidak punya waktu untuk keluarga saking sibuk menjalani profesinya.
***
Hari pengumuman pun tiba. Aku cukup deg-degan sejak dari rumah. Lulus gak ya. Tapi aku sendiri tidak yakin dengan kemampuanku saat tes lalu. Kutelusuri satu persatu nama yang ada di papan pengumuman. Seperti dugaan, tak ada namaku di sana.
“Gimana? Lulus?” tanya bapak saat aku membuka pintu mobil.
“Gak pak,” aku menjawab pelan.
“Alhamdulillah. Itu artinya bukan takdirmu di situ. Ayo cari sekolah lain yang sesuai dengan keinginanmu. Tapi keinginannya harus disesuaikan dengan jurusan yang ada ya,” kata bapak mencoba menghiburku.
Ah, sudahlah. Buat apa aku mencari jurusan yang sesuai dengan keinginanku. Toh di kota ini memang tidak ada. Nanti aku hitung kancing saja. Bukankah sejak dulu aku selalu melepaskan keinginanku. Mungkin kali ini akan lebih mudah jika aku menerbangkannya tinggi-tinggi. Sangat tinggi sampai aku melupakannya.