“Buleek, udah mulai masak ya?” aku menyapa bulek Min. Tetangga yang memiliki warung makan di depan rumahnya.
“Lho, Cinta toh. Mau kemana,” bulek Min balik bertanya setelah menyadari bahwa aku yang menyapanya. Tapi dia bertanya ke Cinta, bukan ke aku.
“Mau les, Bude,” jawab Cinta.
“Itu lho ada motor. Pakai saja,” bulek Min berbicara padaku. Mungkin, dikira motorku sedang tidak ada di rumah. Makanya mengantar Cinta dengan berjalan kaki.
“Gak bulek. Anaknya yang minta jalan kaki ke tempat les. Di rumah ada motor kok,” jawabku sambil berlalu.
“Mau kemana?” tegur Bu Marfuah, ketua RT di kampungku.
“Mau les bu,” jawabku.
“Di mana?,” tanyanya lagi.
“Di gang aman bu,” jawabku sambil berjalan pelan.
“Ayo, ta anternya. Aku mau ke bawah sekalian,” ajak bu Marfuah.
“Makasih bu. Tapi anaknya minta jalan kaki. Sekalian olahraga, he-he,” jawabku sambil nyengir. Errr, gk keliatan juga sih kalau lagi nyengir.
Seperti hari sebelumnya, Cinta begitu menikmati waktu berjalan kaki menuju tempat les. Sambil berjalan, ia berceloteh mengenai keinginannya untuk umrah. Insya Allah ya nak, semoga jalan kita ke sana dimudahkan.
“Kak, kenapa kok minta jalan kaki ke tempat les,” tanyaku ke Cinta. “Sambil olahraga mah. Kayak mamah, suka jalan kaki,” jawab Cinta.
Buat sebagian orang, mungkin melelahkan jika harus mengantar dengan jalan kaki. Buatku, ini sebagai bentuk bergerak aktif. Meski di dalam rumah aku mencoba memenuhi kebutuhan jalan kaki, tapi kalau bisa berjalan di luar rumah, pasti lebih menyenangkan.
Sampai sekarang aku masih ingat, saat aku kecil ibu selalu mengajakku jalan kaki. Kebetulan dulu hanya ada 1 motor vesva di rumah, yang selalu dipakai bapak bekerja. Jadi ketika kami ingin jalan ramai-ramai, naik angkutan umum adalah pilihan utama. Jarak rumahku menuju jalan raya, kurang lebih 1 kilometer. Maka, sejak dini aku sudah terbiasa melangkahkan kaki kemana-mana. Olahraga sekaligus menghilangkan penat dan overthinking yang sering hinggap.