Balikpapan,di September 2014
Aku mengeluarkan barang-barang dari travel bag yang selama ini kugunakan. Kupilah dan kupastikan lagi mana pakaian yang sudah kucuci dan mana yang belum. Pikiranku sesekali melayang ke masa lalu. Ternyata sudah hampir tiga bulan aku tinggal di rumah sakit di ibu kota. Rasanya seperti mimpi. Setiap hari di jalani dengan perasaan yang tak terkendali. Setiap hari kondisi emosi terambang ambing tak menentu. Lorong rumah sakit dan aroma khasnya adalah teman baikku.
“De carikan popok sekali pakai di bawah. Sudah habis,” kata Ibuku suatu hari di rumah sakit.
“Oke,” aku menjawab dan segera beranjak. Kuambil tasku dan kulangkahkan kaki menuju lift pengunjung.
Saking lamanya di rumah sakit ini. Aku kerap merasa menjadi hantu penunggu rumah sakit. Beekeliaran di lorong-lorong untuk memecah kepenatan. Bedanya aku selalu menggunakan pakaian berwarna hitam. Berbeda dengan sosok hantu kebanyakan di film-film.
“Yah, pospaknya habis. Cari di mana lagi nih,” batinku. Akupun membuka aplikasi peta smartphoneku. Kucari apotek terdekat. Ternyata sekitar 1 km dari rumah sakit ini ada apotek lain. Juga ada swalayan di mal tiga kilometer dari sini. Aku menggulirkan layar ke nomer ibu.
“Bu, di bawah habis. Riska cek ada apotek 1 kilometer dari sini. Riska cek ke sana ya,” ujarku.
“Naik apa? Sama siapa?” tanya ibu.
“Sendiri. Jalan kaki aja. 1 kilo kan gak jauh. Ini juga jalan raya kok,” kataku.
“Ya sudah hati-hati dan cepat kembali,” kata ibu.
Aku melangkahkan kakiku ke apotek yang disebutkan peta. Ini pertama kalinya aku berjalan seorang diri lebih jauh dari biasanya. Pemandangannya tentu berbeda dengan kota kelahiranku. Tapi aku tak melihat kemerawutan ibu kota di sini. Malahan aku banyak menemukan pohon-pohon rindang dan taman yang asri di dekat apotek.
“Wah, maaf pospak dewasanya lagi kosong mbak,” kata petugas apotek.
“Di mana lagi yang jual ya mbak? Lagi butuh banget,” kataku.
“Di swalayan di Blok M pasti ada mbak. Coba cek di sana dulu,” katanya.
Akupun kembali membuka aplikasi peta. Ku ambil pilihan berjalan kaki menuju lokasi swalayan yang di maksud. Hanya 2 kilometer. Kalau berjalan kaki, waktu yang kutempuh sekitar setengah jam. Jika menaiki kendaraan, ternyata kurang lebih sama. Tapi jaraknya lebih jauh karena jalannya memutar. Aku memutuskan untuk berjalan kaki.
Olahraga sambil melepaskan stress, pikirku. Pemandangan yang berbeda kembali dihadirkan. Kali ini aku banyak menemukan kompleks pertokoan sebelum sampai di swalayannya. Sesampainya di lokasi yang kutuju, aku secepat mungkin mencari pospak dewasa. Aku hanya melihat sekilas semua hal yang ditawarkan mal ini. Secepat mungkin aku kembali ke rumah sakit.
Sesampainya di kamar rumah sakit, kulihat seorang perawat sedang memeriksa bapak.
“Kok lama?” tanya ibu.
“Iya, di apotek gak ada. Jadi Riska ke swalayan blok M. Di sana banyak stoknya. Dan harganya juga jauh lebih murah dari yang di apotek,” kataku.
“Naik apa mbak ke blok M?” tanya si perawat ramah. Usianya tak jauh berbeda denganku.
“Jalan kaki,” jawabku.
“Hah. Serius? Sendirian?” tanyanya memastikan lagi. Aku menggangguk.”Beraninya,” katanya masih terkejut.
“Ya aku sok-sokan kayak orang yang udah lama tinggal di sini aja. Jalan kaki. Biar gak dikira orang baru. Jadi gak diganggu,” jawabku.
“Lah, justru salah. Kalau orang sini mana ada yang mau jalan kaki sejauh itu,” jawabnya sambil tertawa pelan. “Biasanya orang lebih pilih desak-desakan di kopaja mbak,” tambahnya.
“Lah. Salah dong. Tapi jalan kaki enak lho. Mana pemandangannya bagus-bagus. Tadi juga ada taman yang kayaknya dijadikan tempat pertunjukan seni deh,” ceritaku.
“Wah. Saya yang tinggal bertahun-tahun dan kerja di daerah sini aja malah gak tau ada taman itu mbak,” kata si perawat lagi. Entah pemeriksaannya yang lama atau betah ngobrol di kamar ini, dia tak juga beranjak.
“Saya kira anak bapak yang ini, yang perawat yang bapak ceritakan. Soalnya jalannya cepat dan sigap kayak perawat-perawat di UGD,” katanya kepada bapak.
“Bukan ini yang terakhir. Dia wartawan,” jawab bapak.
“Pantas berani ya pak. Berani jalan kaki sendiri. Berani menghadap dokter dan Dirut tanpa ada yang menemani. Gak melabrak lagi. Keluarga pasien lain belum tentu bisa menahan emosi seperti keluarga bapak,” tambahnya.
Aku tertawa pelan. Entahlah. Mungkin kami memang tak pandai menyalurkan emosi pada orang lain. Sebelum marah otaknya sudah sibuk ke sana kemari mencari rencana terbaik. Yang hasilnyamalah lebih sering tidak marah. Atau karena aku harus tetap terlihat tenang. Agar bapak tidak semakin panik dengan kondisi yang ada.