Apa yang Berubah?

Semenjak menjadi seorang istri dan ibu, perubahan apa yang terlihat sangat jelas? Atau perubahan apa, yang paling kamu sadari? Sadar sendiri, bukan diberi tahu orang lain. Perubahan yang bukan membawa kekecewaan atau kebaikan. Peruabahan yang sebenarnya tidak berpengaruh besar. Tapi sangat mencolok perubahannya.                       

Mungkin ada banyak sekali. Tapi perubahan yang paling aku sadari adalah cara aku membawa kendaraan. Baik itu motor ataupun mobil.

Aku baru bisa membawa motor saat usia 17 tahun. Peraturan ibu dan bapak sangat ketat. Sebelum aku berusia 17 tahun dan punya SIM aku tidak boleh belajar motor. Saat SD, tentu saja bapak yang mengantar jemputku ke sekolah. Karena sekolah dekat rumah mbah, maka sembari menunggu jemputan aku bermain dulu di rumah mbah. Saat SMP, bapak sudah mulai kesulitan membawa motor. Motor hanya digunakan untuk bapak bekerja dan sesekali jalan denganku. Jadi, aku SMP berangkat sekolah diantar jemput abi (red: paman) dan kakak iparku yang pertama.

Saat SMA, bapak sudah tidak bisa membawa kendaaan. Untuk bekerja, bapak diantar jemput oleh supir kantor. Aku yang memilih sekolah agak jauh dari rumah, berangkat sekolah terkadang menggunakan angkot atau menebeng teman yang rumahnya berdekatan atau searah. Mbak Ika, kakak keduaku, saat itu sudah bisa membawa vesva bapak. Sudah punya SIM juga. Tapi dilarang membawa vesva bapak ke arah jalan raya. Ia hanya boleh membawa vesva sampai rumah mbah, melewati jalan tikus.

Mbak Ika pernah mengambek, lantaran ia tidak boleh membawa vesva ke Plaza Balikpapan. Hampir saja ia menggunting SIMnya saking marahnya. Padahal mbak Ika sudah belajar membawa vesva sejak SMP. Ya memang, saat itu ibu dan bapak tidak tahu kalau mbak Ika belajar motor. Lantaran sejak SMP sampai SMA mbak Ika tinggal di rumah mbah.

Setelah ulang tahun ke 17, bapak dan ibu memberikanku kesempatan untuk belajar motor. Sebagai hadiah kesabaran mbakku, kami mendapatkan motor baru. Satria F 250. Motor yang saat itu sedang naik daun. Satria F keluaran pertama itu, tidak memiliki stater. Pengendara harus rela mengengkol. Maka, pelajaran pertamaku adalah bisa mengengkol motor itu sendiri. Kalau-kalau motor itu mati ditengah jalan, aku tidak akan menyusahkan banyak orang. Apalagi, menggunakan motor kopling, jauh lebih sulit ketimbang motor biasa. Selama liburan kenaikan kelas, setiap pagi aku menghabiskan waktu belajar motor. Kebetulan di daerah perumahanku, banyak sekali polisi tidur, jalan berlubang dan tanjakannya. Praktik belajarkupun penuh tantangan. Sampai waktunya aku kembali ke sekolah. Saat itu, ibu dan bapak belum mengizinkanku untuk membawa motor ke sekolah.

“Kalau gak dibawa, kapan beraninya ris?” kata om Patriot, bapak dari sahabatku Uut. “Gak dibolehin om. Kata ibu di jalan ramai,” jawabku.

“Mulai besok, berangkatnya pakai motormu saja. Nanti dari rumah Uut yang bawa. Sudah sampai atas sana, kamu yang lanjut bawa. Jadi ibumu gak tau,” kata Om Patriot. Uutpun menyetujui saran bapaknya. Aku? Tentu saja deg-degan. Diizinkan tidak ya. Ternyata aku diizinkan membawa motor ke sekolah. Walaupun yang ibu tahu, Uutlah yang membawanya. Setelah tiga hari berturut-turut, barulah aku yang membawa dari rumah. Reaksi ibu sangat shock. Tapi ya seperti kata bapaknya Uut, tak akan bisa kalau ibuku tidak percaya. Setelah seminggu pergi ke sekolah tanpa SIM. Akupun segera mengurus SIM bersama sepupuku. Beruntung saat itu peraturan membuat SIM tidak seketatdan sesulit sekarang.

Lalu apa bedanya berkendaraan sekarang dan saat ini?

Saat aku masih SMA, membawa motor dengan kecepatan 60 km/jam terasa biasa saja. Bahkan aku berani menyalip motor ataupun mobil. Walapun tentu saja aku melakukan itu semua dengan pertimbangan. Tidak asal kebut-kebutan. Setelah menikah, laju kendaraan mulai berkurang. Tapi aku tak pernah komplen jika dibonceng suami dalam keadaan ngebut.

Sekarang? Jangan pernah berharap aku membawa kendaraan lebih dari 40 km/jam. Entah kenapa terasa mengerikan kalau membawa kendaraan lebih dari itu. Baik motor ataupun mobil. Pernah saat mengantar suami ke Bontang, akulah yang melanjutkan membawa mobil perjalanan ke Sangatta. Jarak tempuh dari Bontang ke Sangatta, untuk laju normal biasanya hanya 3 jam. Jika ngebut dan hapal medan jalannya, bisa dicapai hanya dengan 2 jam saja.

Saat aku yang membawa, waktu yang kubutuhkan adalah 4,5 jam. Sebenarnya penumpang di mobil tidak ada yang keberetan dengan kecepatanku. Malah mereka merasa lega. Karena lebih santai. Tapi tetap saja mereka akhirnya merasa kelamaan di jalan.

“Kok gak sampai-sampai de?” kata ibuku.

“Udah ketemu hutan raya belum?” tanya mbakku.

“Kok.. Kok.. Kok.. ” dan masih banyak lagi kalimat yang mereka lontarkan. Meski pada akhirnya kami sampai tujuan dengan selamat.

Ada yang juga sepertiku ?

2 tanggapan untuk “Apa yang Berubah?”

  1. Banyak sekali perubahan setelah nikah,
    apapun itu berkendara, yang utama adalah selamat.

    Yang jelas, naik kendaraan sama pasangan, sering kali dikomen, sebab ada yang nemani. hehehe…

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Riska Fikriana Moerad Batalkan balasan