Setiap tahunnya di awal bulan Agustus, penggiat ASI di seluruh dunia merayakan Pekan Menyusui Sedunia. Di tahun 2022 ini, tema yang diusung adalah Berperan Lebih untuk Menyusui, Mendukung dan Mengedukasi.
Aku pertama kali mengetahui ada komunitas peduli ASI di tahun 2012. Saat itu, kepentingannya untuk pekerjaan. Belum ada niat untuk belajar dan mengenal mengenai pentingnya menyusui. Tapi aku beruntung. Para ibu yang saat tergabung di FormASI (Forum ASI) Kaltim, tidak membiarkanku menyia-nyiakan kesempatan belajar. Aku kerap diajak saat mereka mengadakan kegiatan.
Saat FormASI (Forum ASI) Balikpapan dibentuk, aku diajak untuk mengambil peran di dalamnya. Tanpa modal keilmuan dan pengalaman. Bagaimana tidak, saat itu aku masih single. Belum berencana ataupun calon untuk berumah tangga. Malahan, aku lebih sering takut ketika hadir di kegiatan mereka. Takut dianggap sok tahu atau takut salah berkata-kata pada ibu-ibu menyusui yang memerlukan saran.
Ketika terlihat tanda-tanda kehadiran calon suami, pertanyaan yang kulontarkan masih berhubungan. “Nanti, kalau kita menikah dan punya anak, anaknya ASI atau gak?”
“Kalau bisa ASI kenapa harus yang lain?” tanyanya balik. Pertanyaan jebakan sebenarnya, karena selama dua tahun, setiap ada kelas menyusui calon suami selalu kupaksa ikut. Atas dasar cinta, iapun selalu meluangkan waktunya untuk hadir secara penuh. Aku ingat benar, banyak orang tidak percaya kenekatan kami belajar.
“Serius kalian masih pacaran. Wah, kalian mesti sampe nikah deh. Pasangan yang kayak gini, susah banget didapat. Dari pacaran bisa sejalan soal menyusui,” kata Sogi Indra Duaja, salah satu publik figur yang dihadirkan acara menyusui. Alhamdulillah, sampai saat ini masih kurasakan semua manfaat dari kelas-kelas menyusui yang kami lakukan bersama.
Saat anak pertama lahir, aku dengan percaya diri bisa melaluinya. Mentalku sudah terbentuk untuk mengabaikan omongan-omongan negatif tentang menyusui. Aku memilih untuk sekadar memberikan senyum. Karena aku yakin, mereka sebenarnya tidak berencana menyakitiku. Hanya saja, belum paham bahwa para busui mentalnya naik turun seperti roll coaster. Terkadang saat suara-suara itu muncul, suamilah yang akan ambil bagian untuk menjawab. Terutama jika pertanyaan itu muncul dari keluarganya, yang kebingungan saat aku masih menyusui saat hamil. Aku juga beruntung, karena tergabung dalam kepengurusan FormASI Balikpapan, aku dengan leluasa bisa curhat dengan para konselor menyusui. Ada yang janggal sedikit langsung tanya. Tak hanya soal menyusui tapi soal MPASI dan pengasuhan.
Di anak kedua, pengalaman menyusui lebih dag-dig-dug. Karena tongue tie jadi hambatan. Menyusui sebentar bayinya tertidur. Kenaikan berat badan juga tidak signifikan. Akupun langsung curhat dengan salah satu konselor menyusui di FormASI Balikpapan. “Dilihat dari video yang kamu kirim, tampaknya ia ada tongue tie. Sebaiknya ke dokter aja, supaya lebih pasti tindakan yang harus dilakukan,” sarannya.
Eh, belum berkunjung ke dokter, tali lidah sudah robek dengan sendirinya. Entah karena kukunya atau karena teriakannya saat menangis. Yang kuingat saat melihat tali lidah itu robek, Rangga sudah menangis keras.
Setelah itu, perjalanan menyusui mulus seperti jalan tol. Tak ada hambatan, tak ada rintangan. Aku patut bangga, karena modal belajar sejak masih single lah yang bisa membawa proses menyusuiku berjalan lancar. Dan tentu saja, konsultasi dengan dalih curhat dengan konselor menyusuilah yang juga sangat membantu.
Eits perjalanan menyusui boleh menyenangkan. Aku malah punya drama dengan banyak episode di proses menyapih. Dua anak baru bisa disapih ketika usianya hampir 3 tahun. Menyusui dan menyapih memang harus kekompakan, mama papa dan anak. Nah, kalau mamanya sendiri yang mau menyapih tapi suami tidak tega melihat anak-anaknya menangis, maka prosesnya akan makin panjang.
Yang sampai saat ini kuingat, aku selalu merasa tenang saat menyusui. Rasanya aku sangat dicintai. Dan rasanya begitu membahagiakan, saat mata anak-anak menyiratkan bahwa hanya akulah dunia mereka.