Jika kemarin-kemarin kemeriahan HUT RI diwarnai dengan berbagai lomba, Cinta masih melanjutkannya dengan agenda lain. Kali ini karnaval bersama teman-teman TK se-Balikpapan.
Begitu diberitahu di wag kelas dua hari sebelumnya, aku langsung memberi tahu papah dan nenek. Yang semangat sudah pasti nenek. Karena sejak Nindy, nenek tidak pernah absen menonton cucu-cucunya karnaval. Apalagi, 2 tahun ini, seluruh kegiatan tidak bisa dilakukan. Otomatis, antusiasme jadi berkali-kali lipat.
Aku langsung bertanya pada Cinta, pakaian apa yang rencananya akan ia pakai. Ia ingin memakai pakaian polisi. Seperti embah budi. Tentu saja usulan itu disambut nenek dengan gembira. Karena sejak aku kecil, polisi ada pakaian yang diwajibkan ibu. Sayangnya pakaian polisiku saat kecil, menghilang entah kemana.
Alhasil, ketika Nindy pakaian polisi wanita sudah seperti saat ini. Menggunakan celana panjang. Dan karena bersekolah di TK Islam, Nindy menggunakan jilbab. Berlanjut dengan Cicah, kostumnya serupa dengan Nindy. Nah, saat Hafiz, pakaian polisi kembali digunakan. Saat usia Billa 5 tahun, pakaian polisi harus istirahat karena pandemi.
Makanya, begitu Cinta nenek bersemangat sekali menyuruh menggunakan pakaian polisi.
Eh, malamnya Cinta berubah pikiran. “Mah, Cinta pakai baju wartawan aja deh,” kata Cinta. Seketika aku tertawa. Karena selama bekerja dulu, tak ada seragam wajib bagi kuli tinta.
Saat baru menjadi wartawan, aku menggunakan celana jeans, kaos lengan panjang, tas ransel atau sling bag serta sneakers. Setelah aku pindah ke halaman perempuan -Celoteh-, penampilanku juga berubah. Aku memilih rok, cardigan, kemeja, tote bag dan high heels. Penampilanku saat mengerjakan halaman Celoteh, lebih sering dikira PR perusahaan. Bahkan tak jarang aku yang sering mendengarkan tanggapan pengunjung, sebelum PR asli yang menemui.
“Mbak, kayaknya dulu pake kaos ayuk, sweeter ayuk, apa aa deh,” kata Echa salah satu rekan kerjaku dulu.
“Coba tanya papahnay Cinta deh, sebagai wartawan yang udah lama,” tanggapan teman-temanku yang lain.
Rata-rata, yang berkomentar adalah alumni sepertiku. Dan mereka juga tidak yakin dengan pakem seragam wartawan.
Maka, dengan ide dadakan aku memutuskan membuat id card untuk cinta. Cukup di print di kertas hvs lalu kutempelkan di card holderku saat bekerja dulu. Dan voila, jadilah Cinta wartawan.
Biar makin meyakinkan, Cinta mengalungkan kamera mini mainannya yang sudah rusak. Dan biar keliatan “papahnya”, Cinta juga memakai kemeja kotak-kotak hijau.
“Wuih keren,” seru papahnya saat melihat kostum Cinta dipagi hari. “Tapi papah berharap anak-anak papah gak ada yang jadi wartawan,” tambah papahnya lirih. Aku tentu saja tertawa. Jika kebanyakan orangtua ingin anaknya melanjutkan jejaknya, tidak dengan suamiku.
Qadarullah, saat hari H hujan turun. Maka acara karnavalpun sedikit terlambat.
“De, gak bawa payung,” tanya ibuku.
“Gak. Gak kepikiran,” jawabku.
“Itu orangtua murid pada dampingi lho. Payungin anak-anaknya satu-satu. Ada yang bawa terpal, anaknya sambil jalan,” cerita ibu. Yang turun menanti Cinta karnaval adalah nenek, papahnya dan Cicah. Aku harus di mobil rena Rangga tertidur saat perjalanan. Mau mengajak turun, karena hujan, maka kuurungkan.
“Ya udah, next kita bawain payung atau terpal,” jawabku.
Eh ternyata aku salah. Bunda-bunda Cinta di sekolah malah mendapatkan pujian, karena murid-muridnya yang mandiri. Tak ada yang mendampingi atau menangis karena ditinggal orangtuanya. Kami seperti tega melepaskan anak-anak kehujanan. Sesuatu yang tadinya dianggap salah, tapi ternyata tanpa sadar mengajarkan anak-anak kemandirian.
Oh iya, jika 28 tahun lalu pakaian karnaval anak TK didominasi oleh pakaian yang berprofesi sebagai polisi, tentara, dokter dan angkatan laut. Kali ini aku melihat lebih beragam. Meski masih ada polisi dan tentara, ternyata anak-anak juga sudah mulai mengenal pakaian profesi lain. Seperti perawat, pramugari, pilot, pemadam kebakaran, koki.
Maka, akupun turut bangga karena mengenalkan profesi lain seperti wartawan ke teman-teman TK lainnya.
“Nanti mungkin bakalan ada yang mau mengusung sebagai gamer atau youtuber,” kata salah satu temanku.
Aku malah dulu ingin mengenalkan ibu rumah tangga sebagai salah satu profesi saat karnaval. “Tapi profesi itu yang ada sertifikasinya de. Makanya bisa masuk ke KTP,” kata suami.
“Lho, sayang KTP coba cek KTP istrinya. Ibu Rumah Tangga lho,” kataku.
“Oh iya juga ya,” kata suami sambil garuk-garuk kepala. Pekerjaan yang masih sering dipandang sebelah mata, padahal sudah banyak ibu profesional yang berhasil menjalankan perannya dengan baik.
Apa tetap perlu sertifikasi ya?