Buku Untuk Nindy

“Ris, di mana buku Khalil Gibranku?” tanya mbak Ika suatu malam.

“Ada di box pojokan tuh. Maaf ya, raknya sudah gak muat buat buku-buku kita,” kataku kepada kakak keduaku.

Karya Khahlil Gibran adalah favoritnya. Aku membaca hanya karena penasaran. Dan karena di rumah ini ada mini perpustakaan, maka iapun tidak memboyong buku-buknya setelah menikah 13 tahun lalu.

“Nindy tuh di suruh bawa buat kelas literasi,” katanya tanpa kutanya.

Aku mengernyitkan dahi. “Gak salah bawa bukunya Khahlil Gibran buat literasinya dia di sekolah,” tanyaku.

“Terlalu berat ya,” tanya mbakku balik.

“Ya lumayan sih. Menurutku mendingan bawaan buku yang cocok sama dia. Kan buat meningkatkan semangat bacanya. Kalau bukunya gak menarik, nanti malah gk mau baca,” jawabku.

“Terus buku-bukumu apa yang tersisa buat dia,” tanya mbakku lagi. Ini agak sulit. Karena genre membacaku sudah jauh berubah. Apalagi setelah menikah. Lagi pula, jatah belanja buku lebih banyak untuk anak-anak ketimbang buatku.

“Ini buku apa?” tanya mbak Ika mengangkat buku bersampul hitam dengan judul Jika Kita Tidak Baik-Baik Saja.

“Nah, kayaknya itu cocok deh. Soalnya isinya itu soal kalau kita kehilangan seseorang terus gimana menyembuhkan luka-luka itu. Cocoklah buat Nindy yang lagi remaja. Kali aja bentar lagi dia putus Cinta. Jadi sudah siap,” jawabku sambil menyengir. Ayah, suami mbakku menatapku dengan tatapan pengin nampol, karena menyinggung soal pacaran untuk anaknya yang baru saja masuk SMP. Ketakutan yang biasa terjadi pada orang tua. Anak yang beranjak remaja dan mengenal Cinta.

Sudah beberapa tahun ini, aku perhatikan sepupu dan keponakanku selalu diminta untuk meninggalkan buku bacaan di sekolah. Ada yang buat perpustakaan, ada juga yang buat pojok literasi di kelasnya. Yang biasa jadi “korban” tentu buku-buku di rumahku. Karena memang ketersediaan buku yang tidak pernah sepi.

Suatu hari, Cinta pernah bertanya kenapa aku begitu menyukai membaca dan belajar. Aku pun mengatakan karena dulu, akung setiap hari selalu meluangkan waktunya untuk membaca. Selain itu, aku juga suka bermain peran. Serius. Meski aku introvert, aku punya waktu bermain di luar rumah cukup lama. Bersama dua orang temanku, kami suka sekali menjelajah hutan dekat rumah dengan menggunakan sepeda. Biasanya kami bermain dari habis ashar sampai menjelang magrib. Nah, setelahnya tidak ada lagi waktu bermain. Di saat itu aku punya kebahagiaan lain. Aku akan duduk di meja belajarku sampai menjelang tidur. Yang kulakukan selain mengerjakan PR, aku juga akan mengisi jurnal dan membaca buku.

Sampai sekarang aku bisa merasakan betapa bahagianya di pojokan ruangan untuk diriku sendiri. Maka tak heran, ruang kerja darurat yang ada di ruang tamu rumah ini juga ada di pojokan ruangan. Meski harapannya ruang kerja ini bisa lebih rapi dan sesuai keinginan. Aku sampai sekarang kerap melakukan kebiasaan di pojok kerja ini. Mulai dari menulis jurnal, menulis blog, membaca sampai menjahit.

Eh, tapi literasi memang perlu di contohkan sih. Anak-anak tentu tidak akan suka membaca kalau tidak ada yang ditiru.

Tinggalkan komentar