Belum lama ini, seseorang yang aku follow di instagram berbagi rutinitas paginya sebagai ibu dalam membuat bekal sekolah. Tak hanya sekadar video, ia juga memberikan narasi opininya sebagai ibu yang bekerja di ranah domestik. Sebenarnya saat mendengar pertama kali, reaksiku “wah, bisa ada yang komplen nih,” batinku.
Benar saja, beberapa hari kemudian ternyata ada yang mengkritik narasinya. Padahal maksud si pembagi, narasinya untuk penyemangat ibu-ibu yang bekerja di ranah domestik. Karena ada kalanya seorang ibu merasa jenuh dan “kepenuhan”. Bukan menyindir soal ibu bekerja di publik vs domestik. Ia pun pernah merasakan menjadi ibu yang bekerja di ranah publik. Otomatis ia tahu bagaimana rasanya dulu.
Sebenarnya, menurutku pribadi tidak ada yang salah dengan narasinya. Namun, kita sebagai pendengar perlu memahami dengan sudut pandang yang berbeda. Aku yang belum lama menjadi ibu ini, mulai menyadari kalau suasana hati kita sedang tidak baik-baik saja, maka kita juga akan menanggapi sesuatu dengan cara yang berbeda dari biasanya. Nah, makanya perlu sekali pengendalian diri.
Dulu seorang sahabat pernah berkata “Kamu enak, bisa jadi ibu rumah tangga. Gak ada paksaan buat kamu untuk bekerja.” Reaksiku? Sebelum menjawab aku memberikan senyumanku yang paling tulus. “Alhamdulillah saat ini aku dikasih kesempatan untuk bekerja di rumah. Kamu itu hebat. Bisa menghadapi tuntutan pekerjaan dan dilanjutkan dengan tuntutan pekerjaan di rumah. Kalau itu aku, belum tentu bisa. Belum tentu ada support system yang bisa mendukung aku bekerja di ranah publik. Nikmati saja. Mungkin nanti ada waktunya kamu berada di titik yang seperti aku,” jawabku.
Temanku pun melanjutkan cerita betapa menyenangkannya lingkungan pekerjaannya. Tugasku selanjutnya adalah menjadi pendengar untuknya. Aku mungkin bisa bereaksi seperti itu karena jauh sebelum menikah aku memiliki teman-teman yang bekerja di ranah publik dan domestik. Tak ada satupun dari mereka yang saling mencemooh atau menjatuhkan pekerjaan masing-masing. Mereka bisa saling bergandengan tangan dan bahu membahu saling mendukung. Alhamdulillah, aku dikenalkan dengan lingkungan yang baik.
Terkadang ibu bekerja di di publik vs domestik muncul karena masih adanya kebiasaan basa-basi dari orang terdahulu. Ibuku misalnya, setiap pulang mengaji selalu menceritakan temannya yang bangga memaksa anaknya bekerja di ranah publik. “Kalau aku, marah anakku disuruh suaminya berhenti bekerja. Sudah capek-capek di sekolahin tinggi, masa disuruh berhenti kerja sama suaminya,” kata ibuku menirukan ucapan teman-temannya.
“Apakah ibu juga kesal karena aku memilih bekerja di rumah,” tanyaku. “Ya gak. Itu kan sudah jadi urusanmu. Pilihanmu dan suami. Kamu di sekolahin itu sudah kewajiban ibu bapak. Nantinya mau bekerja atau tidak, ya pilihanmu,” kata ibu.
Akupun masih ingat benar pesan bapak dulu. Sekolah saat aku masih menjadi tanggung jawab bapak harus aku lakukan sepenuh hati. “Silakan bekerja sesuai dengan kata hatimu. Karena nanti, setelah menikah bekerja sudah bukan lagi kewajiban buatmu. Kalau suami tidak mengizinkan untuk bekerja, ya harus taat. Kalau ada kebutuhan yang memaksa harus bekerja, bicarakan pelan-pelan dengan suami. Setelah menikah, sudah bukan tanggung jawab bapak lagi pada kehidupanmu,” kata bapak.
Jadi bekerja di publik aatau domestik harusnya tidak lagi menjadi permasalahan. Karena setiap ibu punya medan perang yang tidak sama. Masing-masing hebat di medannya. Dan masing-masing akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk keluarganya. Setuju?