Penggunaan Bahasa Sehari-Hari

Sebagai orang yang besar dan lahir di Balikpapan, aku termasuk orang yang hanya bisa bahasa Indonesia. Padahal, sejak sekolah teman-temanku banyak yang berasal dari suku jawa, madura, bugis dan banjar. Suku-suku yang memang mudah ditemui di kota minyak ini. 

Namun, kebanyakan teman-teman sekolahkupun menggunakan bahasa Indonesia. Yang masih kental berbahasa daerah, hanya orang tua mereka. Teman-temankupun, akan berbahasa daerah, saat diajak ngobrol orang tuanya.

Sampai dewasa, aku juga tidak pernah mencoba berbaur demgan bahasa lain. Pokoknya aku idealis, tetap mau menggunakan bahasa Indonesia.  

Pernah dulu, saat aku dinas di Surabaya, aku mencoba logat jawa. Hanya logatnya, sebagian meyakini aku warga pulau jawa, ha-ha. 

Nah, saat di Jakarta, aku tetap memilih bahasa Indonesia dengan gaya bahasa aku-kamu. Tidak mencoba berbaur seperti yang lain, mengubah menjadi gw-elo. Aku pikir, buat apa? Toh aku tidak lama bertugas di kota metropolitan ini. Aku tetap ingin menjadi diriku sendiri. *tsaaaah* 

Belum lama ini, seorang teman yang sekarang berdomisili di Tasikmalaya membuat status, yang berharap anaknya mampu belajar bahasa daerah karena memang ada mata pelajarannya. Sedangkan mereka lebih fasih berbahasa melayu. Saat berdomisili di Balikpapan, ia tak ada kendala. Di sini tidak ada bahasa daerah yang wajib, karena banyaknya perantauan. 

Aku langsung teringat suami. Si extrovert yang mudah sekali beradaptasi dengan lingkungan barunya. Salah satunya bahasa. Saat berada di kota Samarinda dan berbicara dengan warga asli sana, maka suami dengan lihai berbahasa dengan logat banjar. Padahal, mama dan bapak mertuaku adalah orang jawa yang sampai saat ini masih kental logat jawanya. Belum lagi, mama mertua masih sering ngobrol denganku menggunakan bahasa jawa. Untung saja, aku masih paham. Tapi kalau tidak paham, aku akan berkata jujur. “Ma, itu artinya apa?” 🙏🏻✌🏻

Saat menikah dan mengubah KTPnya menjadi warga Balikpapan, suamipun memiliki relasi yang cukup luas. Apalagi saat hobi memancingnya juga ikut meluas ke laut lepas. 

“Berapa harga kita punya kapal kep?” tanya suami saat menelpon seorang kapten kapal. Aku yang mendengar tentu saja terkejut. Kapan-kapan nih suamiku beli kapal tanpa sepengetahuanku. Tentu saja aku tidak langsung bertanya, karena suami belum selesai berbicara di telepon. Tapi begitu selesai. 

“Emang beli kapal?” tanyaku 

“Gak. Kenapa?” suami malah balik bertanya.

“Lho, tadi kok tadi tanya harga kita punya kapal?” 

“Ohh, itu mau tanya harga sewa. Mau mancing minggu depan,” jawab suami. 

“Kok kita?” tanyaku lagi masih penasaran. 

“Iya, mereka itu kalau ngomong kita. Bukan berarti punya kita. Bisa diartikan aku, kamu,” terang suami. 

“Lah bingungin dong,” jawabku. 

Meski sudah sering mendengar suami berbicara seperti itu, aku masih sering kebingungan dalam mengartikannya. Apalagi, aku juga jarang berinteraksi dengan orang-orang yang berbahasa seperti itu. 

Beberapa hari lalu, ada petugas REGSOKSEK yang berkunjung ke rumah. Ia melakukan pendataan dengan melakukan beberapa tanya jawab. Akupun mewakili ibu dan suami. Ternyata, si ibu berbicara dengan tata bahasa yang seperti dilakukan beberapa teman suami. Yaitu menggunakan kata kita untuk kamu. 

Tak sekali aku menjawab pertanyaan si ibu diawali dengan kata “Ha?”. Butuh waktu beberapa detik untuk mengartikan pertanyaan si ibu. Misalnya “Kita di rumah pake tabung gas apa? Kita pakai asuransi apa? Kita rumah ukurannya berapa? Kita punya no telpon berapa? Dan masih banyak lagi. 

Jadi, bisa dipahami kalau sering berinteraksi dengan banyak bahasa, kita tentu akan mudah beradaptasi. Tidak sepertiku yang terpatok pada bahasa Indonesia saja. 

Kalau kamu? Apakah tetap keukeuh untuk berbahasa Indonesia sehari-hari, atau mau beradaptasi dalam penggunaaannya?

Tinggalkan komentar