“Mah, kenapa sih mama carikan Cinta sekolah yang dekat kuburan. Kan serem?” kata Cinta suatu pagi.
“Dekat? Masa sih? Perasaan mama jauh deh. Lagi pula, kita bisa gk lewat kuburan kok,” jawabku.
“Iya mah, tapi tetap aja seram, karena Cinta lihat,” kata Cinta lagi.
“Eh, tapi kan rumah kita juga dekat kuburan. Malah lebih dekat lagi dari pada sekolah kita,” kataku mengingatkan.
“Iya tapi gak keliatan ma. Kalau sekolah beda,” Cinta masih bersikeras.
“Kan sekolah juga gak keliatan,” kataku lagi.
“Pokoknya beda. Cinta gak paham kenapa mama suka banget sama daerah sekolah Cinta. Dekat kuburan, dikelilingi hutan, sepi, kalau berangkat sekolah pagi udaranya dingin. Mana kadang masih ada kabutnya,” cerocosnya.
Aku tertawa. Ternyata vibes lingkungan sekolah juga ikut memengaruhi Cinta merasa berbeda. Bagaimana tidak, rumah kami tinggal begitu dekat dengan rumah-rumah tetangga. Minim pepohonan dan selalu ramai suara anak-anak bermain serta kendaraan yang lewat. Sangat berbeda dengan lingkungan sekolahnya, yang dulu tempat tinggalku selama delapan belas tahun. Dan bisa jadi, karena Cinta seorang ekstrovert seperti papahnya, ia kurang suka dengan kesunyian.
“Mah, jadi dulu mama pas kerja kayak papah terus pulangnya malam-malam lewat hutan dan kuburan, gak takut?” tanya Cinta lagi.
“Takut sama apa,” tanyaku kembali.
“Ya hantu mah,” kata Cinta.
“Kan ada Allah. Mama lebih takut sama manusia jahat dari pada gangguan jin yang isengin manusia,” kataku. Pelan-pelan aku coba mengingatkan bahwa ia tidak perlu takut pada hantu dan teman-temannya.
Tapi aku jadi teringat pengalamanku bertahun-tahun lalu. Saat masih tinggal di perumahan dinas bapak kerja. Saat itu sehabis magrib aku menuju rumah sahabatku, yang hanya dipisahkan lapangan basket. Aku yang sejak dulu punya kebiaaan jalan menunduk, tidak terlalu memperhatikan jalan depan. Tapi aku menyadari kalau ada seorang wanita berdaster putih yang turun dari tangga depan rumah sahabatku menuju kearahku. Setelah jarak 5 meter, tiba-tiba perempuan itu berbelok menuju mobil sahabatku yang terparkir. Aku sempat berkata dalam hati. “Lah, kok lewat situ, nanti dasternya kotor lho,” Kok bisa aku berpikir seperti itu, karena mobil yang terparkir mepet dengan trotoar yang dipenuhi rumput dan lumpur. Satu-satunya jalan aman hanyalah melewatiku. Tapi karena penasaran, akupun mengelilingi mobil. Tapi tak kulihat ada orang satupun. Jarak antar rumah yang renggang pasti akan membuat siapapun yang lewat akan terlihat. Sesampainya di rumah sahabatku, aku langsung bercerita padanya. “Tante Aldi dari tadi sore jalan kok Ris, jadi gk mungkin ada yang beli. Om juga dari tadi duduk di ruang tamu, gak ada orang lewat,” kata bapak sahabatku.
“Lalu siapa yang kutemui tadi om,” aku bertanya.
“Mungkin kuntilanak. Kan pakai baju putih panjang. Rambutnya gimana? Mukanya gimana?” tanya bapaknya lagi.
“Rambutnya panjang di urai. Mukanya gak keliatan, dia jalannya nunduk, jadi ketutup rambut. Terusaku juga jalannya nunduk, jadi gak perhatikan,” kataku.
“Ya sudah. Kuntilanak memang berarti,” jawab si om sambil menghisap rokoknya. Perkataannya menakuti? Tidak! Si om mah jawab cuek aja. Dan Lucunya aku yang masih duduk di kelas 5 SD juga tidak merasa ketakutan.
Di lain waktu, aku yang masih duduk di bangku SMA kelas 2, memiliki sepupu yang masih balita, Ira. Saat itu usianya maih 3 tahun. Ia sangat suka menginap di rumah ibuku. Saat itu, menjelang magrib, ia menelpon memintaku untuk menjemputnya. Ia ingin menginap. Maka sehabis sholat magrib, aku langsung mengeluarkan motorku dari parkiran.
Di perumahanku saat itu, ada dua gerbang pintu masuk. Satu dari arah kuburan dan satunya lagi dari arah perkampungan. Keduanya sama sepinya. Pokoknya siang hari saja minim orang yang lewat apalagi malam hari. Nah, aku pribadi saat malam hari lebih suka melewati kuburan. Kenapa? Karena di sana orang-orangnya sudah meninggal, berbeda dengan gapura satunya. Kalau zaman itu begal berkeliaran, sasaran lebih pas ya di situ. Tapi entah kenapa aku malah memilih berbelok ke arah gerbang menuju perkampungan. Dari ujung jalan, aku melihat seorang perempuan berdiri di jalanan dekat rumah sahabatku itu. Rumah sahabatku di apit dua jalan. Sebelah kiri jalan besar yang dilalui kendaraan, sedangkan sebelahnya jalanan blok kami. Yang aku dulu melihat seorang perempuan ada di sisi jalan blok kami. Nah, kami ini aku melihat dari sisi sebaliknya. Dari ujung jalan aku sudah bergumam. “Ih, ngapain mbak itu berdiri dipinggir jalan. Angkot kan gak ada yang lewat malam. Pakai baju putih lagi. Bikin orang takut aja. Mana rambut diurai,” rentetan pertanyaan aku lontarkan. Setelah beberapa meter didekatnya, ia malah menghilang. Aku melihat melalui spion motor, tapi ia juga tidak ada. Aku takut? Tidak. Bukan sok berani, tapi otakku sedang memproses apakah yang kulihat tadi benar. Atau hanya imajinasiku saja. Diperjalanan menjemput sepupuku hingga sampai rumah, aku masih bertanya-tanya. Baru keesokan harinya, aku menceritakannya ke sahabatku.
“Ih, kok ada sih orang yang lihat kayak gitu bukannya takut malah plonga-plongo,” kata sahabatku diikuti tawa terbahak-bahaknya. “Itu hantu bete kali, mau nakutin dicueki,” tambahnya lagi.
Pernah juga, saat sudah bekerja aku pulang dini hari. Jumat kliwon dengan cuaca hujan gerimis. Aku yang sedang memutar radio kesukaanku, tiba-tiba dikejutkan dengan suara musik yang berbeda. Tembang jawa yang mengingatkanku pada embah. Takut? Lagi-lagi aku cuek. Bahkan saat turun mobil dan mendengar suara tawa, aku hanya menoleh dan berjalan santai pulang. Tau kenapa? Karena tetanggaku memiliki ayam yang suaranya seperti tertawa. Pikirku, mungkin ayamnya terbangun karena mendengar suara kendaraanku parkir.
Yang menakutkan, selalu coba kukalahkan dangan alasan-alasan yang masuk di akal. Dengan begitu, rasa takut tidak akan mengganggu.