Aku dan Secangkir Kopi

Seteguk kopi, beberapa tahun silam tak kan pernah berhasil melewati tenggorokanku. Sakit kepala, jantung yang berdebar kencang dan sulit tidur adalah salah satu penyebab aku menghindarinya. 

Namun sekarang sungguh bertolak belakang. Aku bukan pencinta kopi. Tapi kopi ternyata mampu mengajakku menyepi sejenak, di tengah keriuhan anak-anak.

Yang menyenangkan, ternyata aku memberikan kesempatan innerchildku untuk membasuh lukanya. Menikmati hari-hari bahagia yang dulu pernah tertata. Bersama bapak, lelaki yang mengajakku pertama kali ke kedai kopi. Tempat yang sebenarnya tidak masuk dalam tempat favorit kami. 

“Riska gk bisa minum kopi pak,” kataku saat itu. 

“Pesan yang bukan kopi kan bisa. Bapak penasaran sama cafe ini. Katanya terkenal. Seenak apa sih kopi yang terkenal,” kata bapak. Aku terkekeh. Apakah bapakku penasaran karena obrolan teman-temannya? Ataukah memang mencari kesempatan agar kegiatan akhir pekan kami tidak monoton di toko buku saja. 

Atas dasar menyenangkan hati bapak, selepas dari toko buku favorit, kamipun duduk manis di sudut cafe. Aku dan bapak, masing-masing membaca buku yang baru kami beli. Mengingat kejadian itu, aku seperti menonton televisi. Melihat bagaimana seorang gadis mengikuti tingkah laku bapaknya. Mencoba menyukai kesukaan bapaknya hingga akhirnya benar-benar jatuh cinta. Tidak salah jika banyak yang bilang kalau anak mengikuti keberanian, karakter dan selera humor bapaknya. 

Saat itu aku dan ibu memesan minuman coklat dingin. Bapak memesan kopi yang direkomendasikan baristanya. 

“Enak pak?” tanyaku. 

“Ya kopi,” jawab bapak singkat. Bapak tidak jauh berbeda denganku. Bukan orang yang bisa detail menikmati makanan atau minuman. Pokoknya enak dan enak banget. Kalau sampai makanan itu tidak enak, berarti kebangetan gk enaknya. Karena penasaran dengan kopi bapak. Akupun mencicipnya. “Kalau sampai sakit kepala, biar deh,” batinku. “Eh enak kok”

Kopi pilihan memang bukan kopi hitam. Aku bisa merasakan perpaduan kopi dan susu segar. Namun ada rasa asin di akhir tegukan. Eh ternyata kopi seperti itulah yang paling aku sukai belakangan ini. Biasanyandi coffee shop menamainya coffee salted caramel. Mungkin bukan hanya rasanya yang cocok di lidahku. Tapi juga kenangan yang dibawa. 

Aku tidak lagi sakit kepala ataupun sulit tidur. Malahan kopi membuatku cepat tidur. Tapi juga lebih cepat terjaga.

Secangkir kopi yang membantuku menyepi, ikut menemaniku menikmati mimpi.

Tinggalkan komentar