Pesan Singkat Bapak

Saat kecil, aku yakin tak ada anak-anak yang berpikir akan berpisah dari orang tuanya. Tentu saja, bagi kita saat masa kanak-kanak, orang tua adalah dunia kita. Tanpa orang tua, dunia kita serasa hancur dan hampa. 

Namun, saat beranjak remaja banyak anak juga merasa jengah dengan orang tuanya. Entah merasa dimusuhi, tidak dimengerti, selalu disalahkan dan masih banyak lagi. Pokoknya anak dan remaja seperti dipisahkan jurang yang dalam lalu diberi benteng yang sangat tinggi. 

Apakah kamu juga merasa seperti itu? Atau hanya aku saja? 😅

Beranjak dewasa, aku mulai menyadari kalau jurang dan benteng yang selama ini kulihat tidak pernah ada. Ternyata jurang dan benteng ini aku sendiri yang membangun. Ibu dan bapak, tidak pernah tahu apa-apa. Ibu dan bapak, mungkin tidak pernah paham dan bahkan tidak pernah menyadari kalau selama ini ada penghalang antara mereka dan aku. 

Lalu, ketika benteng itu kuruntuhkan dan kubangun jembatan cinta, agar bisa melewati jurang dalam, seketika aku merasakan betapa besar cinta dan kasih sayang ibu dan bapak. 

Dan saat itu juga, aku merasa banyak sekali mengecewakan keduanya. Rasanya tidak cukup waktuku untuk berbakti dan membalas keduanya. 

“Kalau nanti sudah menikah, semua yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Bapak cuma bisa dimintai saran, tapi bukan pemberi izinmu lagi,” kata bapak suatu hari.

“Ohh, jadi ini alasan bapak bikin kamar kecil di rumah. Ngusir halus nih,” kataku sambil bercanda. 

Bapak tersenyum. “Kalau suamimu nanti kerjanya gak di Balikpapan, berarti kan kamu harus ikut,” kata bapak. 

“Tapi habis nikah nanti, riska maunya tinggal sama bapK,” kataku agak kecewa. Sebenarnya bukan karena aku manja, tapi sakit yang diderita bapak sejak aku kecil membuatku tidak pernah berpikir untuk pergi jauh. Aku merasa mengurus ibu dan bapak adalah kewajibanku meski aku sudah menikah nanti. Mungkin karena aku anak terakhir? Atau mungkin karena aku merasa sejak kecil aku selalu bersama mereka, maka akupun harus membalasnya. Tapi sebaliknya, bapak dan ibu malah tidak pernah berharap kehadiranku di masa pensiun mereka. Mereka berharap, tapi mungkin mencoba realistis, mengingat begitulah seharusnya saat memiliki anak perempuan. Merelakan saat anak perempuannya harus menaati suaminya setelah menikah nanti. 

Aku beruntung karena sejak kecil diingatkan fitrahku sebagai perempuan. Dan aku beruntung karena Allah memberiku kesempatan tetap berbakti pada orangtuaku, dengan kelapangan hati suamiku. 

Semoga pesan yang pernah bapak sampaikan kepadaku dulu, bisa kembali diteruskan pada anak-anak nantinya.

Tinggalkan komentar