“Mbak, desainkan baju dong!” kata seorag teman belum lama ini.
“Hah? Baju apa mbak?” tanyaku balik.
“Baju buat posyandu di RTku,” katanya singkat.
“Mbak, aku tuh gk bisa gambar. Cuma bisa main tempel-tempel gambar,” jelasku.
“Gak apa-apa mbak. Pokoknya sebisanya aja. Poster-poster yang sering mbak bikin bagus kok. Suamiku aja kemarin bilang hal serupa!” terangnya.
Lalu apakah aku terima tawaran itu? Tentu saja. Aku merasa tertantang untuk melakukan hal yang aku suka. Pengin jago desain tapi gambaran ala kadarnya. Yuk lah ris, semangat ikut kelas gambarnya!
Tapi ternyata melakukan kesukaan tanpa paksaan dengan diminta sangat berbeda. Ada perasaan khawatir gambaran tersebut tidak disukai ternyata lebih besar. Sangat berbeda sekali saat aku melakukan tempel-tempel hanya untuk kepuasanku sendiri.
Ditambah lagi, penggerjaannya yang hanya bisa kulakukan di malam hari, membuatku semakin terbebani. Karena penginnya cepat selesai, tapi tugas utama sebagai istri dan ibu tidak bisa didelegasikan.
Setelah beberapa hari menyerahkan hasil tempel menempelnya, akupun tidak mau berlama-lama. Karena proses cetak juga akan memakna waktu. Jadi semakin cepat diserahkan, semakin baik kan.
Alhamdulillah kekhawatiranku selama ini, langsung hilang karena kepuasan temanku. Tidak ada revisi atau permintaan lainnya.
Ini membuatku kembali ke beberapa tahun silam. Saat itu untuk pertama kalinya aku mendapatkan tugas liputan di sebuah hotel. Public Relationnya, sebut saja mbak R terkenal dengan ketelitiannya. Sehingga selalu terkesan cerewet. Itu sih yang selalu disebutkan oleh rekan-rekan di kantor. Mbak R cukup akrab dengan direksi-direksi. Jadi ketika ada komplen soal pemberitaan, beliau akan langsung komplen ke bos-bos. Rasanya mengerikan ya, ketika langsung diomelin oleh bos plus klien.
Maka hari itu, aku liputan dari awal hingga selesai acara. Aku yang masih muda belia, tentu saja menjadi perhatian tersendiri. Ditambah lagi aku juga masih minim pengalaman. Jadi mbak R banyak sekali mengarahkanku harus seperti apa dan bagaimana dalam membuat berita.
Sampai kantor, aku segera menuliskan hasil liputanku di hotel tersebut. Selama 1,5 jam aku mengetik rangkaian acara sesuai request mbak R. Karena takut, aku mengetik tanpa menyimpannya lebih dulu. Pokoknya gaaaaaas ngetik.
Qadarullah, listrik padam dan butuh 15 menit untuk kembali menyala. Dan tahukah kalau ternyata CPU milikku saat itu tidak tersambung ke power supply cadangan. Dan entah bagaimana, saat listrik kembali menyala, tulisan yang sudah aku buat hilang tanpa jejak. Bahkan tidka tersimpan otomatis sebagain.
Jelas saja aku langsung menangis. Pertama menangis karena tulisannya hilang. Kedua menangis karena takut diomelin oleh si mbak R. Ketiga menangis karena sudah mepet waktu deadline. Saking paniknya, aku sampai tidak tahu harus menulis apalagi.
“Sudah, tulis aja yang mau kamu tulis. Gak usah kepikiran takut dimarahin. Biar aja tulisan itu mengalir,” kata seorang senior kala itu. Dan benar, saat semua kekhawatiran kulepaskan, jari jemariku seperti lincah menari di atas papan ketik.
Layout yang bertugas di halaman yang kuisipun tidak mempermasalahkan keterlambatan yang kulakukan. Kok bisa? Ya karena saat mendesain, ia hanya menyiapkan susunannya. Ketika semua tulisan sudah komplit, barulah dia memasukan tulisan-tulisan yang diketik reporter. Jadi gak perlu menunggu tulisannya selesai diketik baru ia mengerjakan
Keesokan harinya, setelah tulisan yang aku buat terbit, mbak R langsung memujiku. Ia puas dengan liputan yang kubuat. “Pokoknya kalau ada acara di sini lagi, aku maunya Riska aja yang liput,” kata Mbak R yang kemudian disampaiku bos padaku. Maka saat itu, resmilah aku jadi reporter kesayangan mbak R, yang diikuti kelegaan teman-teman seredaksi. Karena cukup sulit menaklukan hati mbak R. Ha-ha.
Dari kejadian itu, aku paham bahwa kadang ketakutan-ketakutanlah yang menghambat kita untuk maju melangkah. Padahal yang ditakutkan, belum tentu kejadian.
apa yang kita khawatirkan belum tentu terjadi
hadapi!
SukaDisukai oleh 1 orang