Kita tentu sudah sering melihat tanda khusus untuk ibu hamil, orangtua dan disabilitas. Di transportasi publik, kita tentu saja harus mengutamakan mereka. Tapi kalau diingat-ingat, norma kesopanan di budaya kita juga sudah membiasakan hal tersebut.
Sebagai ibu penggendong, aku sering sekali diberikan kesempatan untuk menggunakan kursi khusus tanpa kuminta. Aku bersyukur sekali karena orang-orang yang aku temui peka. Meski sebenarnya aku tidak mempermasalahkan sama sekali ketika harus berdiri cukup lama. Jujur saja, duduk diam membuatku lebih mudah gelisah. Selain itu, ibu-ibu yang sering menggendong anaknya punya gerakan berayun yang selalu dilakukan tanpa sadar.
Namun beberapa kali, aku melihat orang lain tampak kurang peka dengan sekitarnya. Membiarkan orang-orang yang membutuhkan kursi untuk duduk, terlalu lama bahkan sampai meminta kesempatan itu bukan hal yang baik.
Seperti kejadian yang hari ini kutemui. Layaknya sebuah playground di sebuah mal, tentu memiliki banyak kursi tunggu untuk pendamping anak. Saat bayi tertidur dalam gendongan, aku pergi sejenak membeli minuman. Suami yang saat itu menemani anak-anak bermain, hanya meminta tumbler minuman diletakkan di meja. Tumbler itu diletakkan bukan sebagai penanda kursi yang kupakai, tapi supaya anak-anak bisa dengan mudah minum saat kehausan. Saat aku kembali, ternyata kursi yang sebelumnya kududuki, sudah diduduki seorang ibu. Tentu saja aku membiarkannya. Toh, aku memang tidak ingin duduk. Tapi ternyata si ibu punya kepedulian yang besar. Ia menyerahkan kursi tersebut kepadaku dan duduk di kursi lain yang kosong. Kebetulan kursi kosong itu juga masih di sebelah suaminya. Akupun langsung mengucapkan terima kasih banyak.
Beberapa waktu kemudian, bayi mulai gelisah dan meminta menyusu. Sambil menyusui, akupun berdiri dan berayun-ayun agar bayi kembali terlelap. Ada disebelahku ada kursi kosong. Dan sebelahnya lagi seorang ibu yang sedang menunggu anaknya. Sebut saja ibu A. Kursi kosong itu tadinya digunakan untuk si anak. Di depan kursi itu diletakkan tas, jaket dan sepatu si anak. Tidak berapa lama, seorang ibu yang jauh lebih tua datang. Sebut saja ibu B. Ia meminta izin kepada ibu A untuk menggunakan kursinya.
“Ini ada orangnya bu!” Katanya. Otomatis gerakan tangan ibu B berhenti di udara. Aku yang sedang berdiri langsung berkata “Pakai ini saja bu”
“Tapi mbaknya kan pakai,” kata ibu B.
“Gak apa-apa bu. Anaknya lagi terbangun dan gak mau saya duduk diam,” kataku memberikan alasan.
“Makasih ya mbak”
Bagaimana reaksi ibu A. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya. Bagaimana bisa, ia tidak mengizinkan kursi tersebut dipakai. Padahal anaknya sedang asyik bermain. Untuk suaminya? Lah dari tadi tidak ada orang kok. Ini kan kursi umum, ya mendingan dipakai orang dong ya!
Tidak sampai 10 menit dari kejadian pertama, ada seorang bapak yang akhirnya mengambil kursi tersebut. Posisi si bapak, sejak tadi tidak jauh dari si ibu A. Saat mengambil kursi aku mendengar kalimat si bapak. “Aku pakai kursinya,”
Gerakan tangan dan mulut ibu A refleks ingin menghentikan proses pengambilan kursi. Tapi disaat yang bersamaan, si bapak langsung berkata “Dari tadi gak ada yang dudul!”
Ibu A tidak jadi protes. Aku melihat raut tidak suka di wajahnya. Jujur saja, kalau dia temanku sendiri sudah ku olok-olok sambil jitak kepalanya.
Dari kejadian tersebut aku makin menyadari, kalau tidak semua orang bisa sadar dan peduli pada orang lain. Mumpung anak-anak masih kecil, aku harus memberikan contoh yang baik dan mengingatkan mereka.